1.
PASAL PERTAMA(TAKUT AKAN ALLAH)
Ayat-Ayat Tentang Ketakwaan
Allah
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
“Wahai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari
seorang diri.” (QS. An-Nisa`: 1)
Allah
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم
مُّسْلِمُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa
kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)
Allah
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Allah
Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ
وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ
اللّهَ
“Dan
sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum
kalian dan (juga) kepada kalian, yaitu bertakwalah kalian kepada Allah.” (QS.
An-Nisa`: 131)
Allah
Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya
Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah:
27)
Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَن يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq:
2-3)
Allah
Ta’ala berfirman:
يِا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إَن تَتَّقُواْ اللّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَاناً
“Wahai
orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, Dia akan
memberikan kepadamu furqan (pembeda).” (QS. Al-Anfal: 29)
Allah
Ta’ala berfirman:
تِلْكَ الْجَنَّةُ
الَّتِي نُورِثُ مِنْ عِبَادِنَا مَن كَانَ تَقِيًّا
“Itulah
surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.”
(QS. Maryam: 63)
Allah
Ta’ala berfirman:
وَأُزْلِفَتِ
الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan (di
hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Asy-Syu’ara`: 90)
Allah
Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ
لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Inilah
kitab (Al-Quran) yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)
Penjelasan
ringkas:
Imam
Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, “Asal makna
ketakwaan adalah engkau menjadikan antara dirimu dengan siksaan Allah berupa
penghalang yang akan melindungi kamu darinya.” Karenanya semua ucapan, amalan,
dan keyakinan yang tujuannya melindungi kita dari siksaan Allah maka itu adalah
ketakwaan.
Definisi
lain pernah diutarakan oleh seorang ulama yang bernama Thalq bin Habib
rahimahullah dimana beliau berkata, “Takwa adalah engkau melakukan ketaatan
kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharap pahala Allah, dan
engkau meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut
akan siksaan Allah.”
Dari
ucapan beliau ini kita bisa memahami bahwa ketakwaan mempunyai 3 pondasi dasar:
a. Melaksanakan semua perintah Allah dan
menjauhi larangan Allah.
b. Dalam melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan harus sesuai dengan cahaya Allah, yakni aturan Allah yang terwujud
dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
c. Menyeimbangkan rasa harap dan takut kepada
Allah dalam setiap amalan yang dikerjakan. Karena harapan kepada Allah tanpa
disertai dengan takut kepada-Nya akan menyebabkan seseorang menjadi zindiq,
sementara takut kepada Allah tanpa disertai harapan kepada-Nya adalah sifatnya
orang-orang kafir.
Kalau
kita menelaah kedua definisi di atas, maka tentu kita akan mendapati kalau
tidak ada satupun kebaikan kecuali termasuk ke dalamnya dan tidak ada waktu
sedetikpun bagi kita kecuali harus bersifat dengannya. Karenanya Allah Ta’ala
sangat memerintahkan ketakwaan ini kepada seluruh manusia secara umum dan
orang-orang yang beriman secara khusus, bahkan Dia mengulang-ulangi perintah
ini pada banyak tempat dalam Al-Qur`an. Dan Allah mengingatkan bahwa ketakwaan
merupakan keharusan atas mereka dalam mewujudkan kesyukuran mereka kepada Allah
Ta’ala yang menciptakan mereka, menguasai mereka, dan mengatur semua yang
berkenaan dengan hidup mati mereka.
Adapun
keutamaan takwa dan orang yang bertakwa, maka secara umum semua kebaikan di
dunia dan di akhirat yang didapatkan oleh seorang hamba merupakan buah dan
hasil dari ketakwaannya kepada Allah. Adapun secara khusus, maka ada beberapa
yang tersebut dalam ayat-ayat di atas yaitu:
a. Semua amalan ibadah makhluk akan ditolak
oleh Allah kecuali amalannya orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang yang
amalannya dibangun di atas keikhlasan dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
b. Dia tidak akan mendapatkan kesulitan yang
berarti dalam kehidupan dunianya, karena Allah Ta’ala selalu ada untuk
memberinya jalan keluar.
c. Dia tidak perlu khawatir akan kehabisan
harta, karena Allah Ta’ala telah berjanji akan senantiasa memberinya rezki dari
jalan-jalan yang tidak pernah dia duga sebelumnya, dan Allah Maha memenuhi
janji-Nya.
d. Dia tidak akan tersesat dalam kehidupan
dunia dan agamanya, karena Allah Ta’ala memberinya ilmu yang dengannya dia bisa
membedakan mana kebaikan dan mana kejelekan, mana tauhid dan mana kesyirikan,
mana iman dan mana kekafiran, mana sunnah dan mana bid’ah, maka ketaatan dan
mana maksiat.
e. Semua keutamaan di atas disempurnakan
dengan didekatkannya surga kepada orang yang bertakwa pada hari kiamat sehingga
mereka akan segera memasukinya.
Adapun
perincian mengenai ucapan, amalan, dan keyakinan yang merupakan ketakwaan, maka
Allah Ta’ala telah menjelaskannya secara rinci dalam Al-Qur`an dengan
sejelas-jelasnya tanpa menyisakan sedikitpun keraguan dan kesamaran. Karenanya
Allah Ta’ala menjadikan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi mereka yang mencari
ketakwaan dan mereka yang hendak meningkatkan ketakwaan mereka.
'HADITS TENTANG 'Takwa Kepada Allah SWT & Akhlak Terpuji
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ
بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ،
"اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ
تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ" - رواه الترمذي وقال حديث
حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah ra dan Abu Abdurrahman Mu’adz bin Jabal ra menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada. Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan , niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulihah manusia dengan akhak terpuji.’ (HR. Turmudzi dan ia berkata, ‘Ini adalah hadits hasan’ dan di sebagian kitab disebutkan sebagai hadits hasan shahih).
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah ra dan Abu Abdurrahman Mu’adz bin Jabal ra menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada. Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan , niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulihah manusia dengan akhak terpuji.’ (HR. Turmudzi dan ia berkata, ‘Ini adalah hadits hasan’ dan di sebagian kitab disebutkan sebagai hadits hasan shahih).
2.
Pasal
ke-2(berbakti kepada ibu bapak)
Kumpulan
Hadits Shahih Muslim : " Berbakti terhadap kedua orang tua dan bahwa
mereka adalah yang paling berhak menerima kebaktian tersebut "
Hadis
riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Seseorang
datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: Siapakah manusia yang paling
berhak untuk aku pergauli dengan baik? Rasulullah saw. menjawab: Ibumu. Dia
bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia
bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia
bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab lagi: Kemudian ayahmu.
(Shahih Muslim No.4621)
Hadis
riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
Seseorang
datang menghadap Nabi saw. memohon izin untuk ikut berperang. Nabi saw.
bertanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Orang itu menjawab: Ya. Nabi
saw. bersabda: Maka kepada keduanyalah kamu berperang (dengan berbakti kepada
mereka). (Shahih Muslim No.4623)
2.
Mengutamakan kebaktian kepada kedua orang tua daripada salat sunat dan perkara
sunat lainnya
Hadis
riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Seorang
yang bernama Juraij sedang salat di sebuah tempat peribadatan, lalu datanglah
ibunya memanggil. (Kata Humaid: Abu Rafi` pernah menerangkan kepadaku bagaimana
Abu Hurairah ra. menirukan gaya ibu Juraij memanggil anaknya itu, sebagaimana
yang dia dapatkan dari Rasulullah saw. yaitu dengan meletakkan tapak tangan di
atas alis matanya dan mengangkat kepala ke arah Juraij untuk menyapa.) Lalu
ibunya berkata: Hai Juraij, aku ibumu, bicaralah denganku! Kebetulan perempuan
itu mendapati anaknya sedang melaksanakan salat. Saat itu Juraij berkata kepada
diri sendiri di tengah keraguan: Ya Tuhan! Ibuku ataukah salatku. Kemudian
Juraij memilih meneruskan salatnya. Maka pulanglah perempuan tersebut. Tidak
berapa lama perempuan itu kembali lagi untuk yang kedua kali. Ia memanggil: Hai
Juraij, aku ibumu, bicaralah denganku! Kembali Juraij bertanya kepada dirinya
sendiri: Ya Tuhan! Ibuku atau salatku. Lagi-lagi dia lebih memilih meneruskan
salatnya. Karena kecewa, akhirnya perempuan itu berkata: Ya Tuhan! Sesungguhnya
Juraij ini adalah anakku, aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata
dia enggan menjawabku. Ya Tuhan! Janganlah engkau mematikan dia sebelum Engkau
perlihatkan kepadanya perempuan-perempuan pelacur. Dia berkata: Seandainya
wanita itu memohon bencana fitnah atas diri Juraij niscaya ia akan mendapat
fitnah. Suatu hari seorang penggembala kambing berteduh di tempat peribadatan
Juraij. Tiba-tiba muncullah seorang perempuan dari sebuah desa kemudian
berzinalah penggembala kambing itu dengannya, sehingga hamil dan melahirkan
seorang anak lelaki. Ketika ditanya oleh orang-orang: Anak dari siapakah ini?
Perempuan itu menjawab: Anak penghuni tempat peribadatan ini. Orang-orang lalu
berbondong-bondong mendatangi Juraij. Mereka membawa kapak dan linggis. Mereka berteriak-teriak
memanggil Juraij dan kebetulan mereka menemukan Juraij di tengah salat. Tentu
saja Juraij tidak menjawab panggilan mereka. Akhirnya mulailah mereka
merobohkan tempat ibadahnya. Melihat hal itu Juraij keluar menemui mereka.
Mereka bertanya kepada Juraij: Tanyakan kepada perempuan ini! Juraij tersenyum
kemudian mengusap kepala anak tersebut dan bertanya: Siapakah bapakmu? Anak itu
tiba-tiba menjawab: Bapakku adalah si penggembala kambing. Mendengar jawaban
anak bayi tersebut, mereka segera berkata: Kami akan membangun kembali tempat
ibadahmu yang telah kami robohkan ini dengan emas dan perak. Juraij berkata:
Tidak usah. Buatlah seperti semula dari tanah. Kemudian Juraij meninggalkannya.
(Shahih Muslim No.4625)
3.
Pasal
ke-3(kemuliaan ilmu)
Kemuliaan Ilmu dan Ulama
Imam
al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan
purnama di atas seluruh …
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan
sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli
ilmu di atas ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas seluruh
bintang-gemintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Sedangkan
para nabi tidak mewariskan uang dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka
mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu niscaya dia memperoleh
jatah warisan yang sangat banyak.” (lihat Akhlaq al-’Ulama,
hal. 22)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan
sanadnya dari Zur bin Hubaisy. Dia berkata: Shofwan bin ‘Asal al-Muradi
mengabarkan kepada kami. Dia berkata: Aku pernah datang menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai
Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau
pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya
penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan
sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka menaiki sebagian yang lain sampai
ke langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang mereka lakukan.” (lihat Akhlaq
al-’Ulama, hal. 37)
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam
Malik. Imam Malik berkata: Aku mendengar Zaid bin Aslam -gurunya- menafsirkan
firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kami akan
mengangkat kedudukan orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf:
76). Beliau berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh
Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5],
dan Fath al-Bari [1/172])
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan
sanadnya dari Mujahid mengenai makna firman Allah (yang artinya), “Allah
berikan hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”Mujahid menafsirkan, “Yaitu
ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal.
19)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan
sanadnya dari Mujahid tentang maksud firman Allah ‘azza wa jalla (yang
artinya), “Dan ulil amri di antara kalian.” Beliau
menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan ulama.” (lihat Akhlaq
al-’Ulama, hal. 21)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan
sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan
para ulama di tengah-tengah umat manusia
bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama,
hal. 29)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan
sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma,
beliau mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan dan orang yang
mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan di dalam
lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)
Petaka
Lenyapnya Ilmu
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sebagian
di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan
merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari
dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671])
Hancurnya alam dunia ini -dengan
terjadinya kiamat- akan didahului dengan hancurnya pilar-pilar penegak
kemaslahatan hidup manusia yang menopang urusan dunia dan akherat mereka. Di
antara pilar tersebut adalah; agama, akal, dan garis keturunan/nasab. Rusaknya
agama akibat hilangnya ilmu. Rusaknya akal akibat khamr. Adapun
rusaknya nasab adalah karena praktek perzinaan yang merajalela di mana-mana
(lihat Fath al-Bari[1/218])
Yang dimaksud terangkatnya ilmu
bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi
yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban
ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).
Hal itu telah dijelaskan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin
Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak
akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah
mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila
tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin
dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu.
Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab
al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])
Di dalam riwayat Ahmad dan Thabrani
dari jalan Abu Umamah radhiyallahu’anhudisebutkan bahwa ketika
Hajjatul Wada’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ambillah
ilmu sebelum sebelum ia dicabut atau diangkat.” Maka ada seorang Badui
yang bertanya, “Bagaimana ia diangkat?”. Maka beliau
menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan perginya
(meninggalnya) orang-orang yang mengembannya.” (lihat Fath
al-Bari [1/237-238])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas
kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa
bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu
menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak
bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu
akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh
lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun
yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu,
Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Perumpamaan
petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka
bumi itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan
berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus
sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya.
Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk
mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa
menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah
perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang
kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan
mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan
tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan
segi keserupaan antara hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata,
“Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula
ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.” (lihat Fath al-Bari [1/215]).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan
bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air
hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.”
(lihatal-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227). Wallahu a’lam.
4.
Pasal
ke-4(niat belajar)
Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal
perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan
niat (karena Allah ta’ala). Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah
dan tempatnya di hati. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah
ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah. Seorang mu’min akan
diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Semua perbuatan yang
bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah
maka dia akan bernilai ibadah,yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan
rutinitas adalah niat.
Dan pada salah satu sabda nabi Muhammad SAW yang berbunyi
"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang
(tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang
ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan" (Bukhari, muslim, ahmad, abu
daud, ibnu majah, tirmidzi)
Aspek niat itu meliputi 3 hal :
1. Diyakini
dalam hati.
2. Diucapkan
dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau
bahkan menjadi ijma.
3. Dilakukan
dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga aspek diatas dilakukan
semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat, hatinya berniat untuk salat,
lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya melakukan amal salat.
Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu haruslah dengan hati
yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras.
Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang
Islam atau Muslim itu tidak hanya 'semantik' saja karena dengan berniat berati
bersatu padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim
itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik
dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa
serta cerdas. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang
diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik.
A. Hadits
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ نَصْرِ بْنِ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ
الْهُنَائِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَيُّوبَ
السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَعَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ
أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ ( روه الترمذي )[1]
Ali bin
Nashr bin Ali menceritakan kepada kami(Imam Tirmidzi), Muhammad bin Abbad Al
Hana’i memberitahukan kepada kami, Ali bin Al Mubarak memberitahukan kepada
kami, dari Ayyub AS Sikhtiyani, dari Khalid bin Duraik dari Ibnu Umar dari Nabi
SAW bersabda, “Barang siapa belajar ilmu karena selain Allah atau
menghendaki dengan ilmu itu selain Allah, maka hendaklah ia menyiapkan tempat
duduknya di neraka.”(H.R TARMIDZI)
B. Pohon
Sanad
رسول الله صلى الله عليه و سلم
ابن
عمر رضى الله عنه
خالدبن
دريك
ايوب
الشختيا نى
على
بن المبارك
محمد
بن عباد الهنائى
على
بن نصر بن على
التر
مذي
C. Biografi
Perowi
1. Ibnu
Umar
· Nama
lengkap :
Abdullah bin Umar bin Hafsi bin ‘Asim bin Umar bin Khattab Al ‘Adawi.
· Nama
panggilan : Abu Usman
· Nasab :
‘Adawi Quraisy
· Tahun
wafat :
74 H di Marwa al Rud
· Guru : Rasulullah
SAW, Kholid bin Kholid bin said bin ‘ash, Salim bin Abdullah bin Umar, Umar
bin nafi’, Qosim bin Muhammad bin harist.
· Murid : Ayyub as Syikhtiyani, Yahya bin sa’id al
anshori, Sulaiman bin bilal, Abdullah bin mubarok, Kholid bin haris, Abdurrohim
bin sulaiman, Kholid bin duraikin
· Kwalitas :
Imam Nasa’i berkata Tsiqoh, Ibnu Hiban berkata Tsiqoh[2]
2.
Kholid bin Duraikin
· Nama
lengkap :
Kholid bin Duraikin
· Nama
panggilan : Abu Bakar
· Nasab
:
Al Usqalani
· Guru : Abdullah
bin Umar bin Hafsi
· Murid : Sayid
bin Abdurrahman, Ayub bin Abi Tamimah Kaisani
· Kwalitas :
Ibnu Hiban berkata Tsiqah[3]
3. Ayyub
as Syikhtiyani
· Nama
lengkap : Ayub
bin Abi Tamimah Khaisani
· Nama
panggilan : Ibnu Abi Tamiyah
· Nasab :
As Syikhtiyani
· Tahun
wafat :
131 H
· Guru :
Khumaid bin Hilal bin Hubairah , Hatim bin Wardani bin Mahran , Hasan bin Abi
Ja’far, Kholid bin Duraikin,Muhammad bin Abdullah bin Muhajir.
· Murid :
Isma’il bin Ibrahim bin Ma’sam, Ali bin Mubarok
· Kwalitas :
Ibnu Hiban berkata Tsiqoh[4]
4. Ali
bin Mubarok
· Nama
lengkap : Ali
bin Mubarok Hana’i
· Nasab :
Al Hana’i
· Guru :
Abdul Azis bin Sihab, Ayyub as Syikhtiyani, Yahya bin Abi Katsir,
Muhammad bin Wasi’ Hasan bin Muslim.
· Murid :
Ibnu Mubarok, Yahya bin al ‘anir’, Muhammad bin ‘Abbad al Hana’I,
Harun bin Isma’il, Utsman bin ‘Amar bin Fariz, Harun bin Ismail, Muslim bin
Ibrahim.
· Kwalitas :
Ibnu Hiban berkata Tsiqah, Sholih bin Ahmad berkata : Tsiqoh[5]
5. Muhammad
bin ‘Abbad al Hana’i
· Nama
lengkap :
Muhammad bin ‘Abbad al Hana’i
· Nama
panggilan : Abu al ‘Abbad
· Nasab :
Al Hana’i
· Guru : Ali
bin Mubarok, Syu’bah, Yunus bin Abi ishaq, mutsana bin Musa bin
Salamah al Hadali, Muja’ah bin Zubair
· Murid :
‘Abdat bin Abdullah as shafar, Zaid bin Ahzam, Ali bin Nasr.
· Kwalitas :
Abu Hatim Suduq[6]
6. Ali
bin Nasr bin Ali
· Nama
lengkap : Ali
bin Nasr bin Ali bin Nasr
· Nama
panggilan : Abu al Hasan
· Tahun
wafat :
250 H
· Guru :
Sulaiman bin Harbi, Abdullah bin Yazid,Abi ‘Asyim, Abu Bakar al Hanifah,
Muhammad bin ‘Abbad al Hana’I
· Murid :
Muslim, Abu Daud, Imam Tirmidzi, imam Nasa’i
· Kwalitas :
Sholih bin Muhammad berkata Tsiqoh Suduq
o Tirmidzi
berkata Sohih Hadits
o Ibnu
Hiban berkata Tsiqoh[7]
D.
KANDUNGAN HADITS
Hadits
di atas berbicara tentang pentingnya niat mencari ilmu. Dalam mencari ilmu
hendaknya seseorang harus benar-benar menjaga niatnya, karena jika ia salah
dalam niatnya, Maka Allah SWT telah menyiapkan tempat duduk bagi dia di neraka.
Pada hakekatnya niat ikhlas karna Allah SWT tidak hanya terbatas untuk menuntut
ilmu saja, melainkan segala amal baik seoarang muslim hendaknya karena Allah
SWT, sebagaiman FirmanNya yang berbunyi:
وَ
مَا اُ مِرُوْا اِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّ يْنَ (البية:5)
Artinya
: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadanya dalam menjalankan agama dengan lurus”
Ketika
Hamka menafsirkan ayat ini, mengomentari ; segala amal dan ibadat, atau
apapun jua perbuatan yang bersangkutan dengan agama, yang dikerjakan dengan
kesadaran, hendaklah ikhlas karena Allah swt belaka, bersih dari pada pengaruh
yang lain. Dengan menjauhkan diri dari kesesatan, yaitu condong kepada
kebenaran laksana jarum kompas (pedoman) kemana pun dia diputarkan, namun
jarumnya selalu condong ke utara. Demikian hendaknya hidup manusia, condong
kepada yang benar, tidak dapat dipalingkan kepada yang salah.[8]
Menuntut ilmu akan menjadi sebuah ibadah dan merupakan bukti ketaan kepada
Allah swt apabila di niati sebagi mana ayat diatas. Bahwasanya ayat diatas
menjelaskan, manusia diperintah hanya untuk beribadah kepada Allah swt dan
berbuat ikhlas dalam menjalankan agamanya.
Sebagai sebuah konsekuensi apabila seorang penuntut ilmu terdapat niatan yang
salah bukan karena ridlo Allah swt atau hany untuk mencari kesenangan dunia
belaka, maka ia tidak akan pernah mendapatkan bau harumnya surga di hari kiamat
nanti. Sebagai mana sabda Nabi saw :
عن
ابي هريرة قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ تَعَلَمَ عِلْماً مِماَ
يُبْتَغىَ بِهِ وَجْهُ الله عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَتَعَلَمُهُ اِلاَ لِيُصِيْبَ
بِهِ عَرَضاً مِنَ الدُنْياَ لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَةِ يَوْمَ القِياَمَةِ (
رواه ابوداود ) [9]
Artinya
: Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda :“Barang siapa mencari
ilmu yang seharusnya dicari untuk mendapatkan ridho Allah, lalu dicarinya hanya
untuk mendapatkan kesenangan dunia, maka ia tidak mendapatkan bau harumnya
surga di hari kiamat”.
D. Keutamaan
Menuntut Ilmu
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ
عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Telah
berkata kepada kami Mahmud ibn Ghilan dari Abu Usamah dari Al A’masy dari Abi
Shalih dari Abi Hurairah ra, beliau berkata bahwa Rasulullah bersabda: Siapa
yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya
menuju surga”
E. Menyembunyikan
Ilmu
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ بُدَيْلِ بْنِ قُرَيْشٍ
الْيَامِيُّ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ عُمَارَةَ
بْنِ زَاذَانَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سُئِلَ
عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ
نَارٍ
“Telah berkata kepada kami Ahmad ibn Budail
ibn Quraisy Al Yamiy Al Kufiy dari Abdullah ibn Numair dari ‘Umarah ibn Zadzan
dari Ali ibn Hakam dari ‘Atha’ dari Abi Hurairah beliau berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda: Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu yang ia ketahui
kemudian ia menyembunyikannya maka ia akan dikekang dengan kekangan dari api
neraka”
F. Keutamaan
orang yang Menuntut Ilmu
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى
الصَّنْعَانِيُّ حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ
جَمِيلٍ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيِّ قَالَ : ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالْآخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ
كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ
حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ
النَّاسِ الْخَيْرَ
“Telah berkata kepada kami Muhammad ibn Abdil
A’la Al-Shan’aniy dari Slaman ibn Raja dari Al-Walid ibn Jamil dari Al-Qasim
Abu ‘Abdirrahman dari Abi Umamah Al-Bahiliy beliau berkata bahwa Rasulullah
menyebutkan dua orang laki-laki, yang satu adalah seorang ahli ibadah dan yang
satu lagi adalah ahli ilmu. Kemudian Rasulullah berkata sesungguhnya keutamaan
orang yang berilmu dengan orang yang beribadah seperti keutamaan aku dibanding
kalian kemudia Rasulullah berkata: Sesungguhnya penduduk langit dan bumi
mendoakan kebaikan bagi orang yang berilmu hingga semut dilubangnya dan ikan”
G. Hilangnya
Ilmu
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَقَ الْهَمْدَانِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Telah berkata kepada kami Harun ibn Ishaq Al-Hamdaniy dari
‘Abdah ibn Sulaiman dari Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Abdullah ibn ‘Amr
ibn ‘Ash beliau berkata, Rasulullah saw bersabda sesun guhnya Allah tidak
menghilangkan ilmu dengan cara mencabut ilmu dari manusia tapi dengan cara
menghilangkan para ulama hingga jika para ulama tidak mewarisi orang alim, maka
manusia akan mengangkat seorang pemimpin yang bodoh, ia ditanya kemudian ia
memberikan fatwa tidak berdasarkan ilmu, dan jadilah mereka sebagai orang yang
sesai dan menyesatkan.”
H. Menuntut
Ilmu Dunia
حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْعَثِ أَحْمَدُ بْنُ
الْمِقْدَامِ الْعِجْلِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا أُمَيَّةُ بْنُ خَالِدٍ
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ كَعْبِ بْنِ
مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ
لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ
أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Telah berkata kepada kami Abu Al-Asy’ats Ahmad ibn Al-Miqdam
Al-Ijliy Al-Bashariy dari Umayyah ibn Khalid dari Ishaq ibn Yahya ibn Thalhah
dari Ibn Ka’ab ibn Malik dari ayahnya beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah
saw berkata: Siapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk mengalahkan/berdebat
dengan para ulama, untuk bersikap sombong dihadapan orang bodoh, atau agar mata
manusia tertuju padanya maka Allah akan memasukkannya kedalam neraka.”
Selain
itu Rosulullah saw, juga bersabda sebagai berikut :
عن
ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيْهِ, قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهُ صلى الله
عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءُ أَوْ
لِيُمَارِيَ السُّفْهَاءَ أَوْ يُصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ
اَدْخَلَهُ اللهَ النَّارَ ( روه الترمذى )[10]
Artinya
: “ Ibnu
ka’ab bin malik dari ayahnya berkata, Aku mendengar Rosulullah saw
bersabda : “ Barang siapa mencari ilmu agar diperlakukan sebagai
seorang yang pandai atau untuk berbantah dengan orang-orang yang bodoh atau
mencari perhatian manusia kepadanya, niscaya kelak Allah memasukkannya ke
Neraka.”
I. Impacnya
Terhadap Motivasi Belajar
Islam
adalah agama yang ajarannya banya menyerukan kepada pemeluknya untuk menuntut
ilmu, karena agama tidak akan dipahami tanpa ilmu. Dalam konteks ini niatan
mencari ilmu sebagaimana bunyi di dalam al- Qur’an dalam surat Al- Bayyinah
ayat 5, hanya dipergunakan untuk menegakkan ajaran islam.
Sebagai
motivasi para penuntut ilmu adalah mendapatkan ridlo Allah dalam bentuk
konkritnya adalah surga, karena seseorang yang pergi untuk mencari ilmu, maka
Allah akan memudahkan ia untuk masuk surga. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
saw yaitu :
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنْ سَلَكَ طَرِ يْقًا يَلْتَمسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ
لَهُ طَرِ يْقًا إِلَى الْجَنَّةِ (رواه الترمذى)[11]
Artinya
:Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa menempuh
jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.”
Tidak
dipungkiri selama perjalanan mencari ilmu, niat seorang pelajar kemungkinan
besar bisa berubah. Maka langkah untuk mengantisipasinya adalah sebagai berikut
:
a. Selalu
melakukan “ tajdidun niat “ ( memperbaruhi niat ) jadi untuk
mengantisipasi agar orientasi penuntut ilmu tidak berubah, pada sewaktu
memperbaruhi niat, merupakan jawaban yang paling tepat. Bagi seorang yang cerdik,
ia akan memperbaruhi niatnya untuk memastikan hati dan perasaan agar terus
teguh memadu kehidupan sebagai seorang penuntut ilmu, ia akan meneguhkan hati
dan niatnya agar tidak mudah menerima bisika syaitan. Konsep niat yang
diterapkan oleh Rasul bukan sekedar satu prinsip yang dipegang untuk mencapai
kebahagiaan dunia saja, tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak.
b. Sebagai
sunatullah, manusia akan selalu mencari popularitas yang tinggi. Dengan begitu
potensi riya’ akan besar. Tapi apa bila hanya memperhitungkan riya’ pada
titik awal dalam mengerjakan suatu pekerjaan atau ibadah, maka tidak akan
terwujud dalam perbuatan dan ibadah. Dengan demikian pada awalnya
terpengaruh riya’ apabila perbuatan itu terus menerus terpaksa
dilakukan, riya’ itu akan berangsur-angsur menghilang.
Dahulu
mahasiswa islam, belajar adalah semata-mata untuk mendalami itu saja, yang
dalam pandangan mereka adalah suatu hal yang paling mengasikkan di atas dunia.
Manusia menurut pembawaan instingnya selalu ingin tahu, dikarenakan para
filosof islam sangat memperhatikan pelajaran dari berbagai cabang ilmu, sastra
dan seni. Untuk dapat memberikan kepuasan kepada para penuntut ilmu yang
mempunyai kecenderungan untuk mengetahui dan menggalinya. Hal ini merupakan
pendidikan yang ideal, karena penuntut ilmu belajar ilmu untuk ilmu,belajar
sastra untuk sastra. Oleh karena itu kelezatan ilmiyah sastra tidak ada
bandingannya.
Dapat
kita ambil ‘ibroh dari keterangan di atas kejeniusan dan
keintelektualitas yang tinggal sarjana muslim pada zaman dahulu tidak lain
disebabkan karena motifati untuk mencari ilmu semata-mata untuk mempelajari
ilmu itu sendiri. Mereka tidak pernah mengharapkan imbalan dari hasil belajar
mereka kecuali riho Allah swt. Hal ini tergambar jelas bagaimana ibnu sina, ibnu
rusdy, ibnu Khaldun, imam ghozali, dan para imam madzhab, beliau-beliau mampu
menjadi pionir dalam bidangnya masing-masing disebabkan karena beliau-beliau
mempunyai wacana besar terhadap keilmuan. Bagaimana ilmu yang beliau pelajari
dapat beliau transfer kegenerasi lain bukan untuk populitas beliau sendiri.
قُلْ إِنَّ
صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(الأنعام: 162)
Artinya
: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam (QS. Al An’aam : 162)
Ayat ini
menjelaskan tentang iman kepada Allah itu dengan kesatuan tujuan ibadat
kepada-Nya pula sebab kita telah percaya bahwa Dia Esa, maka kitya atukan
satukan pula ibadat kita kepada-Nya. Nabi muhammad mempelopori ibadah itu,
sebab itu beliau disuruh menyatakan dengan tegas bahwa sembahyang beliau hanya
karena Allah dan untuk Allah. Pertama sembahyang , karena inilah
pokok. Tanda acara kepadanya dan tanda cinta kepadanya. Bila datang panggilan,
maka disaat itu juga aku hadir. Allah maha besar, Allah maha besar ! yang
lainkecil yang remeh berhala. Kemudian itu ialah ibadatku semuanya. Disini
disebut nusuki, yang diartikan pada umumnya untuk sekalian ibadat. Sedangkan
pangkal pokok arti dipakai untuk penyembelihan kurban ketika mengerjakan haji
untuk Allah. Bahkan bukan itu saja, hidupku inipun dan matikupun untuk Allah,
karena Allah. Semuanya itu aku serahakan kepada tuhanku Allah. Tuhan dari sarwa
sekalian alam ini, tidak dua, tidak berbilang, hanya satu. Dengan segenap kesadaran
hidupku ini, aku kurbankan untuk mencapai ridha-Nya dan dengan segenap
kesadaran pula aku bersedia bila saja datang panggilan maut, buat menghadap
hadiratnya.[12]
Dalam
dunia kontemporer kita mengenal lembaga pendidikan atau perguruan tinggi yang
memiliki jurusan atau fakultas dan spesifikasi ilmu pada salah satu bidang
keilmuan. Sehingga memungkinkan para pelajar mencari ilmu karena termotifasi
ingin ahli dalam satu kompetensi bidang ilmu tertentu, sehingga dia ahli
dibidangnya.
Al-
Ghozali menuliskan dalam kitabnya ihya’ ulumiddin bahwa pelajar harus rajin dan
bersungguh- sungguh dalam menuntut ilmu. Jangan sampai menuntut ilmu berubah
menjadi keserakahan yaitu untuk mengumpulkan kelebihan duniawi. Jika demikian
tujuan niatnya, berarti ia adalah seorang yang sedang berusaha untuk
meruntuhkan agamanya dan menjerumuskan dirinya, serta menjual akhiratnya
yang abadi dengan kepentingan dunia yang hampa ini. Sebaliknya apabila niat dan
tujuannya hanya karena Allah dan hanya dirinya yang tahu, karena hendak mencari
hidayah bukan sekedar mencari kesenangan duniawi maka bergembiralah. Sebab saat
ia berjalan mencari ilmu, ia akan dipayungi oleh malaikat dengan sayapnya, dan
ikan-ikan di airpun akan memohonkan pengampunan terhadapa Allah agar terkabul
niat nya.[13]
Menurut
K.H. Moch. Jamaludin Ahmad, orang yang menuntut ilmu itu terbagi menjadi 3
golongan, yaitu :
1. Orang
yang mencari ilmu karena hendak mencari bekal ke akhirat. Niatnya hanya untuk
mencapai keridhoan Allah dan bekal utuk hari kiamat.
2. Orang
yang mencari ilmu untuk persiapan kehidupan yang fana ini, disamping niat untuk
persiapan kehidupan akhirat lainnya hendak mencapi kekuasaan, kemuliaan,
kemegehan, dan harta benda. Sedang ia sadar bahwa niat yang demikian itu sama
sekali tidak bernilai dan tidak dihargai.
3. Orang
yang mencari ilmu karena dipengaruhi oleh syaithon, ia mempergunakan ilmunya
untuk menambah kekayaan, membanggakan kemegahan dan menyombongkan diri. Ia
tidak dapat digolongan kedalam golongan orang yang berilmu, karena ia telah
digelapkan oleh tipu daya syaithon. Orang yang seperti ini akan rusak dan mudah
diperdaya.[14]
Niat
seorang pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari
kebahagiaan di akhirat menghilangkan kebodohan dirinya, dan orang lain,
menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam akan tetap lestari
kalau pemeluknya atau umatnya berilmu.
Zuhud dan takwa tidak sah tanpa
disertai ilmu. Syaikh Burhanuddin menukil perkataan para ulama berikut: “Orang
yang tekun beribadah tapi bodoh, bahayanya lebih besar daripada orang alim tapi
durhaka. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, yaitu bagi orang
yang menjadikan mereka sebagai panutan dalam urusan agama.”
Dalam
menuntut ilmu juga harus didasari niat untuk mensyukuri nikmat akal dan
kesehatan badan. Jangan sampai terbesit niat supaya dihormati masyarakat, untuk
mendapatkan harta dunia, atau agar mendapat kehormatan di hadapan pejabat atau
lainnya.
Barangsiapa
dapat merasakan lezatnya ilmu dan nikmatnya mengamalkannya, maka dia tidak akan
begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain.
Syaikh
Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar Al Anshari membacakan syairnya
kepada Abi Hanifah: “Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia
akan memperoleh anugerah kebenaran. Dan kerugian bagi orang yang menuntut ilmu
hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.”
Boleh
menuntut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat kalau
kedudukan tersebut digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, dan untuk
melaksanakan kebenaran, serta untuk menegakkan agama Allah. Bukan untuk mencari
keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu.
Hal itu
perlu direnungkan oleh para penuntut ilmu, supaya ilmu yang mereka cari dengan
susah payah tidak sia-sia. Oleh karena itu dalam mencari ilmu jangan punya niat
untuk mencari dunia yang hina dan fana itu. Seperti kata syair: “Dunia
ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang
yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menulikan dan
membutakan, mereka kebingungan tanpa petunjuk.”[15]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, niat dalam segala perbuatan
merupakan hal yang sangat penting. Karena jika dalam niat saja seseorang telah
keliru maka berat rasanya untuk menjalankan perbuatan tersebut dan hasil yang
akan dicapaipun tidak akan maksimal. Apalagi dalam urusan ilmu, jangan sampai
seseorang berniat untuk mencari kesenangan dunia semata, karena hal yang
demikian akan menghalangi ia untuk mendapatkan ridloNya serta menghalangi
langkahnya untuk menuju surga.
5.
Pasal
ke-5 (memuliakan ilmu)
Sesungguh Islam adalah agama yang menghargai ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu, dalam ajaran Islam, adalah suatu yang sangat diwajibkan sekali bagi setiap Muslim, apakah itu menuntut ilmu agama atau ilmu pengetahuan lainnya. Terkadang orang tidak menyadari betapa pentingnya kedudukan ilmu dalam kehidupan ini.
Ayat Al-Qur’an yang
berkenaan dengan pendidikan sebagai berikut.
(1) QS. Al-Alaq 1-5 yang artinya:
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(2) Allah Ta’ala berfirman menerangkan keutamaan ulama dan apa-apa yang mereka miliki dari kedudukan dan ketinggian:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
1. Firman Allah yang lain:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu (agama) beberapa derajat.” (QS. Al-Mujaadilah: 11)
2. Sungguh Allah telah memuliakan ilmu dan ulama dengan memberikan kepada mereka kebaikan yang umum dan menyeluruh sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو الأَلْبَابِ
“Allah menganugrahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur`an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 269)
3. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir:28)
4. Ulama adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang lurus dan pemahaman yang mendalam, Allah Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُونَ
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabuut:43)
7. Selain itu dalam firman Allah:
“Allah dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu menyatakan (bersaksi) bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia (Allah)” (QS.Ali-‘Imran: 18).
8. “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43).
9. Firman Allah:
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu”… (QS. Al Ankabut: 49)
10. “Salah satu syarat diterimanya sebuah amal manusia adalam adanya ilmu. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS.Al-Israa’: 36)
Selain ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu ada juga hadits sebagai berikut.
1. Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan pahamkan dia tentang agama(nya).” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ، وَالْحِيْتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak.” (HR. Abu Dawud no.3641, At-Tirmidziy no.2683, dan isnadnya hasan, lihat Jaami’ul Ushuul 8/6)
3. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ، فَرُبَّ مُبَلَّغٌ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah memuliakan seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu dia menyampaikannya (kepada yang lain) sebagaimana yang dia dengar, maka kadang-kadang orang yang disampaikan ilmu lebih memahami daripada orang yang mendengarnya.” (HR. At-Tirmidziy no.2659 dan isnadnya shahih, lihat Jaami’ul Ushuul 8/18)
4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang keturunan Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau seorang anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim no.1631)
5. Adapun pahala menuntut ilmu Rasululllah saw. bersabda:
“Orang yang menuntut ilmu berarti menuntut rahmat; orang yang menuntut ilmu berarti menjalankan rukun Islam dan pahala yang diberikan kepadanya sama dengan pahala para nabi.” (H.R. Ad-Dailami dari Anas r.a).
6. Sedangkan dalam hadist lain yang diriwayatkan Imam Muslim r.a.:
“Barangsiapa yang melalui suatu jalan guna mencari ilmu pengetahuan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan baginya jalan ke surga.” Maka dalam menuntut ilmu niatkanlah semata-mata mencari keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan dibalas dengan pahala kebaikan untuk dunia dan akhirat.
7. Dari Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Perumpamaan apa yang aku bawa dari petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang banyak yang menyirami bumi, maka di antara bumi tersebut terdapat tanah yang subur, menyerap air lalu menumbuhkan rumput dan ilalang yang banyak. Dan di antaranya terdapat tanah yang kering yang dapat menahan air maka Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya sehingga mereka bisa minum darinya, mengairi tanaman dengannya dan bercocok tanam dengan airnya. Dan air hujan itu pun ada juga yang turun kepada tanah/lembah yang tandus, tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan rumput-rumputan. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan orang yang mengambil manfaat dengan apa yang aku bawa, maka ia mengetahui dan mengajarkan ilmunya kepada yang lainnya, dan perumpamaan orang yang tidak perhatian sama sekali dengan ilmu tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.” (HR. Al-Bukhariy)
8. Nabi Muhammad SAW juga sangat menghargai orang yang berilmu. “Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu Dawud.
9. Bahkan Nabi tidak tanggung-tanggung lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu kabilah.
“Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang ‘alim.” (HR Thabrani)
10. Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu-waktu bisa tersesat karena kurangnya ilmu. “Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR At Tirmidzi).
11. Nabi Muhammad mewajibkan ummatnya untuk menuntut ilmu. “Menuntut ilmu wajib bagi muslimin dan muslimah” begitu sabdanya. “Tuntutlah ilmu dari sejak lahir hingga sampai ke liang lahat.”
12. Hadits-hadits seperti “Siapa yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pengetahuan, ia berada di jalan Allah”, “Tinta seorang ulama adalah lebih suci daripada darah seorang syahid (martir)”, memberikan motivasi yang kuat untuk belajar.
13. Dari Ibunda kaum mu’minin, Ummu Abdillah ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata: ”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami, maka (amalan) itu tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu tertolak.”
14. Perintah untuk ber-guru sangat dianjurkan walaupun harus sampai kenegeri Cina. “Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin”, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Hadits ini diri wayatkan dari jalan Abu ‘Atikah Al Bashri, dari Anas bin Malik.
15. Apabila kamu melewati taman-taman surga, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman surga itu?” Nabi Saw menjawab, “Majelis-majelis taklim.” (HR. Ath-Thabrani)
16. “Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)
17. Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )
18. Mendapatkan paket MLM Pahala. Dalam menuntut ilmu pasti terjadi nasehat-menasehati.
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya itu tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka” [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 2674]
Akidah Islam adalah landasan hidup seorang muslim yang merupakan satu-satunya asas Negara. Sehingga tidak layak keberadaan sesuatu dalam institusi Negara, struktur Negara, operasional Negara atau apapun yang terkait dengan Negara termasuk landasan hukum pendidikan kecuali berasaskan akidah Islam. Dalam Daulah Khilafah Islamiyah pendidikan akan diselenggerakan dengan dasar akidah Islam yang tercermin pada penetapan arah pendidikan, penyusunan kurikulum, dan silabi serta menjadi dasar dalam kegiatan belajar-mengajar.
Islam mewajibkan setiap muslim untuk memegang teguh ajaran Islam dan menjadikannya sebagai dasar dalam berpikir dan berbuat, asas dalam hubungan antar sesama manusia, asas bagi aturan masyarakat, dan asas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam menyusun sistem pendidikan. Penetapan akidah Islam sebagai asas pendidikan tidaklah berarti bahwa setiap ilmu pengetahuan harus bersumber dari akidah Islam tapi akidah dijadikan sebagai standar penilaian atau tolak ukur pemikiran dan perbuatan.
Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya. Rasulullah Saw bersabda yang artinya:”menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”(HR. Ibnu Adi dan Baihaqi). Atas dasar ini, Negara wajib menyediakan pendidikan bebas biaya kepada warga negaranya baik muslim maupun non-muslim, miskin maupun kaya. Negara tidak hanya berkewajiban menyediakan pendidikan yang bebas biaya tetapi juga berkewajiban menyediakan pendidikan yang berkualitas dengan asas dan tujuan pendidikan.
Al-qur’an sendiri memuat pemikiran dan keyakinan dari berbagai agama dan golongan di masa Nabi Muhammad Saw. Islam tidak melarang mempelajari segala macam pemikiran sekalipun bertentangan dengan akidah Islam, asal diserta koreksi dengan hujjah yang kuat untuk mengoreksi pendapat yang salah itu. Ilmu yang bertentangan dengan Islam tentu bukan sebagai suatu pengetahuan yang utama, melainkan semata-mata dipelajari untuk pengetahuan, menjelaskan kekeliruannya serta memberikan jawaban yang tepat, jangan mengambilnya sebagai pegangan hidup.
Pendidikan harus diarahkan bagi terbentuknya kepribadian Islam anak didik dan membina mereka agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta tsaqafah Islam. Pendidikan juga harus menjadi media utama bagi dakwah dan menyiapkan anak dididk agar kelak menjadi kader umat yang akan ikut memajukan masyarakat Islam.
Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterikatan pada syariat Islam walaupun peserta didik menguasai ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam adalah upaya sadar yang terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan mengembangkan manusia yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, dan menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan seni) yang memadai, dan selalu menyelesaikan masalah kehidupan sesuai dengan syariat Islam.
Seorang peserta didik harus dikembangkan semua jenis kecerdesannya baik itu intelektual, spiritual, emosional, dan politiknya. Kompetensi penguasaan ilmu yang cukup mencakup tsaqofah Islam maupun ilmu kehidupan, disertai sikap seseorang atas dasar Islam akan membuat ia selalu menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya sesuai dengan syariat Islam baik itu masalah pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara.
Al-qur’an dengan tegas menguraikan arti pentingnya ilmu pengetahuan bagi kepentingan dan kelangsungan hidup manusia, tidak diragukan lagi ayat-ayatnya sebagian besar berbicara mengenai dasar-dasar kependidikan dalam arti luas. Al-Qur’an sebagai materi utama dan sumber pedoman, didalamnya mengandung nilai-nilai kependidikan dalam rangka membudayakan manusia, ayat-ayatnya banyak memberikan motivasi edukatif bagi manusia.
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang diberikan selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa Negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
(1) QS. Al-Alaq 1-5 yang artinya:
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(2) Allah Ta’ala berfirman menerangkan keutamaan ulama dan apa-apa yang mereka miliki dari kedudukan dan ketinggian:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
1. Firman Allah yang lain:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu (agama) beberapa derajat.” (QS. Al-Mujaadilah: 11)
2. Sungguh Allah telah memuliakan ilmu dan ulama dengan memberikan kepada mereka kebaikan yang umum dan menyeluruh sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو الأَلْبَابِ
“Allah menganugrahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur`an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 269)
3. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir:28)
4. Ulama adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang lurus dan pemahaman yang mendalam, Allah Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُونَ
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabuut:43)
7. Selain itu dalam firman Allah:
“Allah dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu menyatakan (bersaksi) bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia (Allah)” (QS.Ali-‘Imran: 18).
8. “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43).
9. Firman Allah:
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu”… (QS. Al Ankabut: 49)
10. “Salah satu syarat diterimanya sebuah amal manusia adalam adanya ilmu. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS.Al-Israa’: 36)
Selain ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu ada juga hadits sebagai berikut.
1. Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan pahamkan dia tentang agama(nya).” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ، وَالْحِيْتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak.” (HR. Abu Dawud no.3641, At-Tirmidziy no.2683, dan isnadnya hasan, lihat Jaami’ul Ushuul 8/6)
3. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ، فَرُبَّ مُبَلَّغٌ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah memuliakan seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu dia menyampaikannya (kepada yang lain) sebagaimana yang dia dengar, maka kadang-kadang orang yang disampaikan ilmu lebih memahami daripada orang yang mendengarnya.” (HR. At-Tirmidziy no.2659 dan isnadnya shahih, lihat Jaami’ul Ushuul 8/18)
4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang keturunan Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau seorang anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim no.1631)
5. Adapun pahala menuntut ilmu Rasululllah saw. bersabda:
“Orang yang menuntut ilmu berarti menuntut rahmat; orang yang menuntut ilmu berarti menjalankan rukun Islam dan pahala yang diberikan kepadanya sama dengan pahala para nabi.” (H.R. Ad-Dailami dari Anas r.a).
6. Sedangkan dalam hadist lain yang diriwayatkan Imam Muslim r.a.:
“Barangsiapa yang melalui suatu jalan guna mencari ilmu pengetahuan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan baginya jalan ke surga.” Maka dalam menuntut ilmu niatkanlah semata-mata mencari keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan dibalas dengan pahala kebaikan untuk dunia dan akhirat.
7. Dari Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Perumpamaan apa yang aku bawa dari petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang banyak yang menyirami bumi, maka di antara bumi tersebut terdapat tanah yang subur, menyerap air lalu menumbuhkan rumput dan ilalang yang banyak. Dan di antaranya terdapat tanah yang kering yang dapat menahan air maka Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya sehingga mereka bisa minum darinya, mengairi tanaman dengannya dan bercocok tanam dengan airnya. Dan air hujan itu pun ada juga yang turun kepada tanah/lembah yang tandus, tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan rumput-rumputan. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan orang yang mengambil manfaat dengan apa yang aku bawa, maka ia mengetahui dan mengajarkan ilmunya kepada yang lainnya, dan perumpamaan orang yang tidak perhatian sama sekali dengan ilmu tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.” (HR. Al-Bukhariy)
8. Nabi Muhammad SAW juga sangat menghargai orang yang berilmu. “Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu Dawud.
9. Bahkan Nabi tidak tanggung-tanggung lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu kabilah.
“Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang ‘alim.” (HR Thabrani)
10. Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu-waktu bisa tersesat karena kurangnya ilmu. “Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR At Tirmidzi).
11. Nabi Muhammad mewajibkan ummatnya untuk menuntut ilmu. “Menuntut ilmu wajib bagi muslimin dan muslimah” begitu sabdanya. “Tuntutlah ilmu dari sejak lahir hingga sampai ke liang lahat.”
12. Hadits-hadits seperti “Siapa yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pengetahuan, ia berada di jalan Allah”, “Tinta seorang ulama adalah lebih suci daripada darah seorang syahid (martir)”, memberikan motivasi yang kuat untuk belajar.
13. Dari Ibunda kaum mu’minin, Ummu Abdillah ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata: ”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami, maka (amalan) itu tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu tertolak.”
14. Perintah untuk ber-guru sangat dianjurkan walaupun harus sampai kenegeri Cina. “Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin”, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Hadits ini diri wayatkan dari jalan Abu ‘Atikah Al Bashri, dari Anas bin Malik.
15. Apabila kamu melewati taman-taman surga, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman surga itu?” Nabi Saw menjawab, “Majelis-majelis taklim.” (HR. Ath-Thabrani)
16. “Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)
17. Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )
18. Mendapatkan paket MLM Pahala. Dalam menuntut ilmu pasti terjadi nasehat-menasehati.
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya itu tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka” [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 2674]
Akidah Islam adalah landasan hidup seorang muslim yang merupakan satu-satunya asas Negara. Sehingga tidak layak keberadaan sesuatu dalam institusi Negara, struktur Negara, operasional Negara atau apapun yang terkait dengan Negara termasuk landasan hukum pendidikan kecuali berasaskan akidah Islam. Dalam Daulah Khilafah Islamiyah pendidikan akan diselenggerakan dengan dasar akidah Islam yang tercermin pada penetapan arah pendidikan, penyusunan kurikulum, dan silabi serta menjadi dasar dalam kegiatan belajar-mengajar.
Islam mewajibkan setiap muslim untuk memegang teguh ajaran Islam dan menjadikannya sebagai dasar dalam berpikir dan berbuat, asas dalam hubungan antar sesama manusia, asas bagi aturan masyarakat, dan asas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam menyusun sistem pendidikan. Penetapan akidah Islam sebagai asas pendidikan tidaklah berarti bahwa setiap ilmu pengetahuan harus bersumber dari akidah Islam tapi akidah dijadikan sebagai standar penilaian atau tolak ukur pemikiran dan perbuatan.
Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya. Rasulullah Saw bersabda yang artinya:”menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”(HR. Ibnu Adi dan Baihaqi). Atas dasar ini, Negara wajib menyediakan pendidikan bebas biaya kepada warga negaranya baik muslim maupun non-muslim, miskin maupun kaya. Negara tidak hanya berkewajiban menyediakan pendidikan yang bebas biaya tetapi juga berkewajiban menyediakan pendidikan yang berkualitas dengan asas dan tujuan pendidikan.
Al-qur’an sendiri memuat pemikiran dan keyakinan dari berbagai agama dan golongan di masa Nabi Muhammad Saw. Islam tidak melarang mempelajari segala macam pemikiran sekalipun bertentangan dengan akidah Islam, asal diserta koreksi dengan hujjah yang kuat untuk mengoreksi pendapat yang salah itu. Ilmu yang bertentangan dengan Islam tentu bukan sebagai suatu pengetahuan yang utama, melainkan semata-mata dipelajari untuk pengetahuan, menjelaskan kekeliruannya serta memberikan jawaban yang tepat, jangan mengambilnya sebagai pegangan hidup.
Pendidikan harus diarahkan bagi terbentuknya kepribadian Islam anak didik dan membina mereka agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta tsaqafah Islam. Pendidikan juga harus menjadi media utama bagi dakwah dan menyiapkan anak dididk agar kelak menjadi kader umat yang akan ikut memajukan masyarakat Islam.
Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterikatan pada syariat Islam walaupun peserta didik menguasai ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam adalah upaya sadar yang terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan mengembangkan manusia yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, dan menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan seni) yang memadai, dan selalu menyelesaikan masalah kehidupan sesuai dengan syariat Islam.
Seorang peserta didik harus dikembangkan semua jenis kecerdesannya baik itu intelektual, spiritual, emosional, dan politiknya. Kompetensi penguasaan ilmu yang cukup mencakup tsaqofah Islam maupun ilmu kehidupan, disertai sikap seseorang atas dasar Islam akan membuat ia selalu menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya sesuai dengan syariat Islam baik itu masalah pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara.
Al-qur’an dengan tegas menguraikan arti pentingnya ilmu pengetahuan bagi kepentingan dan kelangsungan hidup manusia, tidak diragukan lagi ayat-ayatnya sebagian besar berbicara mengenai dasar-dasar kependidikan dalam arti luas. Al-Qur’an sebagai materi utama dan sumber pedoman, didalamnya mengandung nilai-nilai kependidikan dalam rangka membudayakan manusia, ayat-ayatnya banyak memberikan motivasi edukatif bagi manusia.
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang diberikan selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa Negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
6.
Pasal
ke-6(kesopanan murid terhadap gurunya)
Kesopanan Murid Terhadap Guru
by Teuku Muhammad Razi , at 19.40 , have 0 komentar
Telah berkata Saidina Ali Karamallahu Wajhah :
اَنَاعَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِيْ حَرْفًا
Maksudnya : “ Aku adalah seperti
hamba bagi yang mengajari aku satu huruf ”.
Ketahuilah hai murid, bahwa guru
engkau itu adalah mendidik engkau dan membersihkan jiwamu, dan mengajari engkau
ilmu pengetahuan untuk keselamatan dunia akhirat. Maka telah menjadi wajib
engkau memuliakannya dan menghormatinya.
Adalah adab – adab murid terhadap
guru sangat banyak, sebahagian dari padanya ialah memberi salam waktu berjumpa,
dan duduk bersopan dihadapannya, dan jawab perkataanya dengan sopan dan
dengarkan benar – benar pelajaran yang diterangkan, dan jangan sekali – kali
engkau bermain – main waktu guru memberi pelajaran dan jangan engkau ucapkan
kata – kata yang kasar terhadap guru, dan kalau engkau dimarahi guru haruslah
engkau terima dengan baik karena ingatlah bahwa gurumu itu hanya bermaksud
untuk kebaikanmu.
Di tanah Mekkah pernah terjadi
seorang murid menembak gurunya dengan takdir Allah berhilanglah ilmu yang
banyak dari dadanya.
Dan do’akan guru setiap hari seperti
:
رَبِّ اغْفِرْلِمَشَايِخِيْنَاوَرْحَمْهُمْ
يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“ Ya Tuhanku ampunilah dan berilah guru – guruku rahmat Ya
Tuhan Yang Maha Pengasih ”.
Maka hormatilah guru engkau agar engkau mendapat kebahagian
dunia akhirat.
وَاللهُ اَعْلَمُ
Sumber : Kitab Pelajaran Akhlak
Karangan : الحاج عدنان يحي لوبس
Karangan : الحاج عدنان يحي لوبس
7.
Pasal ke-7(adab murid serta kawan-kawannya)
Adab Murid Serta Kawan – Kawanya
by Teuku Muhammad Razi , at 19.39 , have 0 komentar
Sabda Rasulullah SAW :
لَايُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لِاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِه
Maksudnya : “ Tidak sempurna iman
seseorang kamu sehingga ia menyukai keselamatan saudaranya sebagaimana ia suka
keselamatan dirinya sendiri ”.
Hai murid! Engkau mesti bersopan
terhadap kawan – kawanmu, karena adalah kesopanan itu lebih berharga dari ilmu.
Pepatah Arab telah berkata :
الْاَدَبُ فَوْقَ الْعِلْمِ
Maksudnya : “ Sopan – santun itu di
atas ilmu ”.
Maka adalah sebahagian adab
kesopanan terhadap kawan – kawan itu ialah memberi salam waktu berjumpa dengan
muka manis pula.
Telah bersabda Rasulullah SAW :
لَاتَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًاوَلَوْ
اَنْ تَلْقَى اَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“ Jangan engkau permudah – mudah
memperbuat kebaikan itu, sungguh sekali dengan menjumpai saudaramu dengan muka
manis ”.
Dan hendaklah engkau berkunjung –
kunjungan dengan kawan – kawanmu, terlebih – lebih waktu ia sakit dan pegang
kepalanya kalau sedang sakit lalu baca tujuh kali :
اَللهُمَّ اِنِّيْ اَسْأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ
رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ اَنْ يَشْفِيَكَ بِشِفَائِهِ
“ Ya Allah, Tuhan Yang menjadikan
‘Arasy sembuhkanlah saudara ini dengan sebaik – baiknya ”.
Dan berilah nasehat kepada kawan
engkau yang malas belajar karena Sabda Rasulullah :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
Maksudnya : “ Agama Islam menyuruh
umat islam bernasehat – nasehatan ”.
Dan jangan sekali – kali engkau
menghinakan saudaramu, baik dengan kata – kata atau dengan perbuatan. Dan
jangan sekali – kali engkau berlaku sombong terhadap kawan – kawanmu. Dan
jangan pula engkau mengolok – olokkan saudaramu waktu ia dimarahi guru, sebab
kerap timbul perkelahian dengan itu. Dan jangan engkau memberatkan perbantahan
antara kawan – kawanmu tetapi usahakanlah perdamaian, kalau mereka berbantah
maka lakukanlah adab – adab ini agar engkau berbahagia.
وَاللهُ اَعْلَمُ
Sumber : Kitab Pelajaran Akhlak
Karangan :
Karangan :
8.
Pasal
ke-8(memilih kawan)
(1894 Views) November 20, 2011 12:12 am | Published by Redaksi | Comments Off on Memilih Teman
Membentengi Keyakinan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah
Abdurrahman)
Segala puji bagi Allah yang telah
memuliakan hamba-hamba-Nya dengan menganugerahi mereka sifat ulfah (kedekatan
sesama mereka) di dalam agama, memberikan taufik kepada akhlak yang paling
mulia, menganugerahi mereka sifat sayang kepada kaum mukminin, menghiasi mereka
dengan akhlak yang mulia dan perangai yang diridhai. Menjadikan mereka
meneladani Rasulullah n dalam perbuatan, akhlak, pergaulan, dan amalan mereka.
Karena Allah l telah memuji beliau dalam sebuah firman-Nya:
“Sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Allah l telah menyeru beliau kepada akhlak yang agung:
“Berilah maaf kepada mereka dan mintakanlah ampun buat mereka serta ajaklah mereka bermusyawarah dalam banyak hal dan jika kamu memiliki azam/tekad kuat (untuk melakukan sesuatu) maka bertawakkallah kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 159)
Di antara kebagusan pergaulan beliau dan keindahannya, Allah l berfirman:
“Jika kamu keras hati niscaya mereka akan lari darimu.” (Ali ‘Imran: 159)
“Berikanlah maaf dan serulah kepada yang baik dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199)
‘Aisyah x telah ditanya tentang akhlak Rasulullah n, lalu beliau x berkata: “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.”
Segala puji bagi Allah l yang telah menjadikan hamba-Nya memiliki akhlak yang agung dan mulia. Dialah yang telah membimbing mereka kepada akhlak dan adab yang terpuji, serta menyelamatkan mereka dari akhlak yang tercela. Allah l berfirman:
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63)
Ulfah (kedekatan hati) akan melahirkan ukhuwah. Ukhuwah akan melahirkan kebagusan dalam bergaul dan berteman. Allah l lah yang memberikan taufik kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan membantu mereka dengan karunia serta keluasan rahmat-Nya.
Tentunya adab berteman dan bergaul banyak bentuknya. Setiap golongan manusia berhak mendapatkan adab-adab berteman dan bergaul. Oleh karena itu, wajib atas setiap mukmin untuk menjaga hak saudaranya dan memperbagus pergaulannya. Rasulullah n telah menyebutkan bahwa mukmin itu adalah bersaudara, bagaikan satu jasad (tubuh). Tentunya, mereka semestinya akan tolong-menolong dalam kebaikan.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوْادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى
“Permisalan orang yang beriman dalam cinta kasih dan sayang mereka bagaikan satu jasad yang bila salah satu dari anggota tubuh tersebut mengeluh kesakitan maka seluruh anggota tubuh akan begadang dan merasa panas.” (HR. Muslim no. 4685)
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 2266)
Apabila Allah l menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah l memberikan taufiq untuk berteman dengan Ahlus Sunnah, dengan orang yang selalu menjaga diri, orang yang baik, dan baik agamanya. Allah l menyelamatkannya dari berteman dengan pengekor hawa nafsu, ahli bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang. Karena Rasulullah n bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dll)
Seorang penyair berkata:
عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ
فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارَنِ مُقْتَدِي
Janganlah engkau bertanya tentang jati diri seseorang, tapi tanyakanlah siapa temannya
Karena setiap orang akan mengikuti temannya
(lihat Muqaddimah Adab Ash-Shuhbah karya Al-Imam Abdurrahman As-Sulami)
Ruh-ruh itu ibarat pasukan yang kokoh
Watak dan karakter yang berbeda sangat memengaruhi pergaulan sehari-hari. Perbedaan watak dan karakter menyebabkan setiap individu akan mencari yang serupa dan menolak jika tidak sama. Yang baik akan bergabung dengan yang baik dan yang jelek akan bergabung dengan yang jelek. Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah n dalam sebuah sabdanya:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh itu ibarat sebuah pasukan yang kokoh, bila dia saling kenal maka akan bertemu, dan bila saling tidak kenal akan berpisah.”
Al-Imam Al-Baghawi t di dalam Syarhus Sunnah (13/57) mengatakan: “Hadits ini disepakati ulama tentang keshahihannya, diriwayatkan oleh Muhammad (Al-Bukhari t, pen.) dari ‘Aisyah x, dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dari Yazid bin Al-Asham, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah z. Abdullah bin Mas’ud z berkata, ‘Ruh itu sebuah tentara yang dipersiapkan akan bertemu dengan yang sepadan. Sebagaimana kuda, jika dia cocok maka akan menyatu dengannya, dan bila tidak akan berpisah’.”
Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum jasad, dan bahwa ruh itu merupakan makhluk, ketika bersatu atau berpisah bagaikan sebuah pasukan bila bertemu dan berhadapan. Hal ini karena Allah l telah menjadikannya ada yang beruntung dan ada pula yang celaka. Setelah itu jasad yang menjadi tempat ruh akan bertemu di dunia, maka akan bertemu atau berpisah sesuai dengan keserupaan atau tidaknya, yang telah diciptakan baginya di awal penciptaannya. Sehingga engkau melihat seseorang yang baik akan mencintai yang baik, dan orang yang jahat akan senang kepada yang serupa. Dan masing-masing dari keduanya akan lari dari lawannya.”
Al-Imam An-Nawawi t dalam syarah beliau menjelaskan, “Orang yang baik akan condong kepada orang yang baik dan orang yang jahat akan condong kepada yang jahat.”
“Sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Allah l telah menyeru beliau kepada akhlak yang agung:
“Berilah maaf kepada mereka dan mintakanlah ampun buat mereka serta ajaklah mereka bermusyawarah dalam banyak hal dan jika kamu memiliki azam/tekad kuat (untuk melakukan sesuatu) maka bertawakkallah kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 159)
Di antara kebagusan pergaulan beliau dan keindahannya, Allah l berfirman:
“Jika kamu keras hati niscaya mereka akan lari darimu.” (Ali ‘Imran: 159)
“Berikanlah maaf dan serulah kepada yang baik dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199)
‘Aisyah x telah ditanya tentang akhlak Rasulullah n, lalu beliau x berkata: “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.”
Segala puji bagi Allah l yang telah menjadikan hamba-Nya memiliki akhlak yang agung dan mulia. Dialah yang telah membimbing mereka kepada akhlak dan adab yang terpuji, serta menyelamatkan mereka dari akhlak yang tercela. Allah l berfirman:
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63)
Ulfah (kedekatan hati) akan melahirkan ukhuwah. Ukhuwah akan melahirkan kebagusan dalam bergaul dan berteman. Allah l lah yang memberikan taufik kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan membantu mereka dengan karunia serta keluasan rahmat-Nya.
Tentunya adab berteman dan bergaul banyak bentuknya. Setiap golongan manusia berhak mendapatkan adab-adab berteman dan bergaul. Oleh karena itu, wajib atas setiap mukmin untuk menjaga hak saudaranya dan memperbagus pergaulannya. Rasulullah n telah menyebutkan bahwa mukmin itu adalah bersaudara, bagaikan satu jasad (tubuh). Tentunya, mereka semestinya akan tolong-menolong dalam kebaikan.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوْادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى
“Permisalan orang yang beriman dalam cinta kasih dan sayang mereka bagaikan satu jasad yang bila salah satu dari anggota tubuh tersebut mengeluh kesakitan maka seluruh anggota tubuh akan begadang dan merasa panas.” (HR. Muslim no. 4685)
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 2266)
Apabila Allah l menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah l memberikan taufiq untuk berteman dengan Ahlus Sunnah, dengan orang yang selalu menjaga diri, orang yang baik, dan baik agamanya. Allah l menyelamatkannya dari berteman dengan pengekor hawa nafsu, ahli bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang. Karena Rasulullah n bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dll)
Seorang penyair berkata:
عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ
فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارَنِ مُقْتَدِي
Janganlah engkau bertanya tentang jati diri seseorang, tapi tanyakanlah siapa temannya
Karena setiap orang akan mengikuti temannya
(lihat Muqaddimah Adab Ash-Shuhbah karya Al-Imam Abdurrahman As-Sulami)
Ruh-ruh itu ibarat pasukan yang kokoh
Watak dan karakter yang berbeda sangat memengaruhi pergaulan sehari-hari. Perbedaan watak dan karakter menyebabkan setiap individu akan mencari yang serupa dan menolak jika tidak sama. Yang baik akan bergabung dengan yang baik dan yang jelek akan bergabung dengan yang jelek. Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah n dalam sebuah sabdanya:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh itu ibarat sebuah pasukan yang kokoh, bila dia saling kenal maka akan bertemu, dan bila saling tidak kenal akan berpisah.”
Al-Imam Al-Baghawi t di dalam Syarhus Sunnah (13/57) mengatakan: “Hadits ini disepakati ulama tentang keshahihannya, diriwayatkan oleh Muhammad (Al-Bukhari t, pen.) dari ‘Aisyah x, dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dari Yazid bin Al-Asham, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah z. Abdullah bin Mas’ud z berkata, ‘Ruh itu sebuah tentara yang dipersiapkan akan bertemu dengan yang sepadan. Sebagaimana kuda, jika dia cocok maka akan menyatu dengannya, dan bila tidak akan berpisah’.”
Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum jasad, dan bahwa ruh itu merupakan makhluk, ketika bersatu atau berpisah bagaikan sebuah pasukan bila bertemu dan berhadapan. Hal ini karena Allah l telah menjadikannya ada yang beruntung dan ada pula yang celaka. Setelah itu jasad yang menjadi tempat ruh akan bertemu di dunia, maka akan bertemu atau berpisah sesuai dengan keserupaan atau tidaknya, yang telah diciptakan baginya di awal penciptaannya. Sehingga engkau melihat seseorang yang baik akan mencintai yang baik, dan orang yang jahat akan senang kepada yang serupa. Dan masing-masing dari keduanya akan lari dari lawannya.”
Al-Imam An-Nawawi t dalam syarah beliau menjelaskan, “Orang yang baik akan condong kepada orang yang baik dan orang yang jahat akan condong kepada yang jahat.”
Figur pergaulan dan persahabatan
yang baik pada generasi terbaik
Sesungguhnya kehidupan ini adalah bagian kecil dari karunia Allah l bagi manusia. Dialah yang telah menciptakan kehidupan dan kematian agar Allah l menguji siapa yang paling baik amalnya di antara mereka. Dia pula yang telah memilih siapa yang paling dekat dengan diri-Nya dari hamba-hamba-Nya serta siapa yang dijauhkan. Dia pula yang telah mengangkat dan merendahkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan beramal, seseorang akan menjadi mulia di sisi Allah l dan menjadi generasi terbaik dalam kurun kehidupan manusia. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13)
Rasulullah n bersabda:
خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2457)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Generasi siapakah yang mendapatkan karunia pengangkatan derajat pertama kali dari umat ini dengan ilmu dan amal?
Itulah generasi sahabat Rasulullah n, sebagaimana dalam hadits ‘Imran bin Hushain z di atas.
Bagaimanakah mereka berteman, bergaul, dan bersahabat? Apakah mereka mendahulukan kesukuan dan ras? Atau mendahulukan karakteristik dan perasaan? Atau mendahulukan kekeluargaan?
Untuk menjawab semua pertanyaan ini, mari kita lihat bagaimana sifat-sifat mereka yang telah diabadikan Allah l di dalam banyak ayat-Nya. Di antaranya:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin). Mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Adakah sifat pergaulan dan persahabatan dalam bermuamalah yang paling tinggi dari apa yang Allah l sifatkan mereka di dalam ayat-ayat di atas? Mereka adalah orang yang keras terhadap orang kafir dan penyayang sesama mereka. Mereka adalah orang yang taat kepada Allah l dalam melaksanakan segala kewajiban. Mereka adalah orang yang tulus ikhlas dalam mencari karunia Allah l. Mereka adalah orang-orang yang tangguh dan kokoh. Mereka adalah orang yang ditakuti oleh musuh-musuh Allah l. Mereka adalah orang yang mencintai saudaranya lebih dari diri mereka sendiri. Mereka adalah orang yang tidak kikir dan bakhil. Mereka mengutamakan saudaranya daripada kepentingan mereka sendiri.
Dengan semua sifat ini, adakah kecurigaan dalam berteman dan persahabatan di antara mereka, buruk sangka, saling benci, saling hasad, saling mencela, saling menjatuhkan, saling menjauhi, mencari-cari kesalahan, dan saling berpaling? Cukuplah pujian dan sanjungan Allah l untuk mereka sebagai generasi terbaik umat ini yang patut untuk diteladani.
Sesungguhnya kehidupan ini adalah bagian kecil dari karunia Allah l bagi manusia. Dialah yang telah menciptakan kehidupan dan kematian agar Allah l menguji siapa yang paling baik amalnya di antara mereka. Dia pula yang telah memilih siapa yang paling dekat dengan diri-Nya dari hamba-hamba-Nya serta siapa yang dijauhkan. Dia pula yang telah mengangkat dan merendahkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan beramal, seseorang akan menjadi mulia di sisi Allah l dan menjadi generasi terbaik dalam kurun kehidupan manusia. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13)
Rasulullah n bersabda:
خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2457)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Generasi siapakah yang mendapatkan karunia pengangkatan derajat pertama kali dari umat ini dengan ilmu dan amal?
Itulah generasi sahabat Rasulullah n, sebagaimana dalam hadits ‘Imran bin Hushain z di atas.
Bagaimanakah mereka berteman, bergaul, dan bersahabat? Apakah mereka mendahulukan kesukuan dan ras? Atau mendahulukan karakteristik dan perasaan? Atau mendahulukan kekeluargaan?
Untuk menjawab semua pertanyaan ini, mari kita lihat bagaimana sifat-sifat mereka yang telah diabadikan Allah l di dalam banyak ayat-Nya. Di antaranya:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin). Mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Adakah sifat pergaulan dan persahabatan dalam bermuamalah yang paling tinggi dari apa yang Allah l sifatkan mereka di dalam ayat-ayat di atas? Mereka adalah orang yang keras terhadap orang kafir dan penyayang sesama mereka. Mereka adalah orang yang taat kepada Allah l dalam melaksanakan segala kewajiban. Mereka adalah orang yang tulus ikhlas dalam mencari karunia Allah l. Mereka adalah orang-orang yang tangguh dan kokoh. Mereka adalah orang yang ditakuti oleh musuh-musuh Allah l. Mereka adalah orang yang mencintai saudaranya lebih dari diri mereka sendiri. Mereka adalah orang yang tidak kikir dan bakhil. Mereka mengutamakan saudaranya daripada kepentingan mereka sendiri.
Dengan semua sifat ini, adakah kecurigaan dalam berteman dan persahabatan di antara mereka, buruk sangka, saling benci, saling hasad, saling mencela, saling menjatuhkan, saling menjauhi, mencari-cari kesalahan, dan saling berpaling? Cukuplah pujian dan sanjungan Allah l untuk mereka sebagai generasi terbaik umat ini yang patut untuk diteladani.
Memilih teman adalah bagian dari
agama
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
“Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.” (An-Najm: 29)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am: 116)
Rasulullah n memerintahkan kepada kaum lelaki ketika mencari pasangan: “Pilihlah yang beragama. Jika tidak, akan celaka kedua tanganmu.”
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Di dalam hadits ini terdapat anjuran dan dorongan untuk berteman dengan orang yang memiliki agama dalam segala permasalahan. Karena berteman dengan mereka akan mendapatkan kebagusan akhlak mereka, keberkahan, dan kebagusan jalan mereka serta akan terpelihara dari kerusakan yang akan timbul dari mereka.” (Syarah Shahih Muslim 10/52)
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
“Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.” (An-Najm: 29)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am: 116)
Rasulullah n memerintahkan kepada kaum lelaki ketika mencari pasangan: “Pilihlah yang beragama. Jika tidak, akan celaka kedua tanganmu.”
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Di dalam hadits ini terdapat anjuran dan dorongan untuk berteman dengan orang yang memiliki agama dalam segala permasalahan. Karena berteman dengan mereka akan mendapatkan kebagusan akhlak mereka, keberkahan, dan kebagusan jalan mereka serta akan terpelihara dari kerusakan yang akan timbul dari mereka.” (Syarah Shahih Muslim 10/52)
Teman yang baik akan membantu dalam
kebaikan
Sesungguhnya syariat telah menganjurkan kita untuk berteman dengan orang-orang yang baik dan menjauhkan diri dari teman yang jelek. Rasulullah n bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
“Seseorang berada di atas agama temannya.” (HR. Ahmad)
Beliau n juga menjelaskannya sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa z:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman yang baik dan teman yang jelek seperti (berteman) dengan pembawa minyak wangi dan tukang pandai besi. Dan adapun (berteman) dengan pembawa minyak wangi kemungkinan dia akan memberimu, kemungkinan engkau membelinya, atau kemungkinan engkau mencium bau yang harum. Dan (berteman) dengan tukang pandai besi kemungkinan dia akan membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan bau yang tidak enak.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t di dalam kitabnya Fathul Bari (4/324) menjelaskan: “Di dalam hadits ini terdapat larangan berteman dengan seseorang yang akan merusak agama dan dunia. Hadits ini juga mengandung anjuran agar seseorang berteman dengan orang yang akan bermanfaat bagi agama dan dunianya.”
Di dalam hadits ini terdapat bimbingan dan dorongan agar berteman dengan orang-orang yang shalih dan berilmu, karena berteman dengan mereka akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat. Juga terdapat peringatan dari berteman dengan orang yang jelek dan fasik karena akan membahayakan agama dan dunia. Berteman dengan orang baik akan mewariskan kebaikan, sedangkan berteman dengan orang yang jahat akan mewariskan kejelekan. Tak ubahnya seperti angin, jika dia bertiup pada sesuatu yang wangi maka akan membawa bau yang harum. Jika bertiup pada sesuatu yang busuk, maka akan membawa bau yang busuk. Walhasil, pertemanan akan berpengaruh. Oleh karena itu, Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119)
Sebagian orang bijak berkata: “Selalulah kalian bersama Allah l. Jika kalian tidak sanggup maka bertemanlah kalian dengan orang yang (selalu) bersama Allah l.” (Lihat Mirqatul Mafatih Syarah Misykatu Al-Mashabih, 14/306)
Sesungguhnya syariat telah menganjurkan kita untuk berteman dengan orang-orang yang baik dan menjauhkan diri dari teman yang jelek. Rasulullah n bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
“Seseorang berada di atas agama temannya.” (HR. Ahmad)
Beliau n juga menjelaskannya sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa z:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman yang baik dan teman yang jelek seperti (berteman) dengan pembawa minyak wangi dan tukang pandai besi. Dan adapun (berteman) dengan pembawa minyak wangi kemungkinan dia akan memberimu, kemungkinan engkau membelinya, atau kemungkinan engkau mencium bau yang harum. Dan (berteman) dengan tukang pandai besi kemungkinan dia akan membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan bau yang tidak enak.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t di dalam kitabnya Fathul Bari (4/324) menjelaskan: “Di dalam hadits ini terdapat larangan berteman dengan seseorang yang akan merusak agama dan dunia. Hadits ini juga mengandung anjuran agar seseorang berteman dengan orang yang akan bermanfaat bagi agama dan dunianya.”
Di dalam hadits ini terdapat bimbingan dan dorongan agar berteman dengan orang-orang yang shalih dan berilmu, karena berteman dengan mereka akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat. Juga terdapat peringatan dari berteman dengan orang yang jelek dan fasik karena akan membahayakan agama dan dunia. Berteman dengan orang baik akan mewariskan kebaikan, sedangkan berteman dengan orang yang jahat akan mewariskan kejelekan. Tak ubahnya seperti angin, jika dia bertiup pada sesuatu yang wangi maka akan membawa bau yang harum. Jika bertiup pada sesuatu yang busuk, maka akan membawa bau yang busuk. Walhasil, pertemanan akan berpengaruh. Oleh karena itu, Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119)
Sebagian orang bijak berkata: “Selalulah kalian bersama Allah l. Jika kalian tidak sanggup maka bertemanlah kalian dengan orang yang (selalu) bersama Allah l.” (Lihat Mirqatul Mafatih Syarah Misykatu Al-Mashabih, 14/306)
Bila teman anda orang yang jelek
Saudaraku… Anda pasti tidak akan sudi dan tidak ingin jika api itu akan membakar pakaian anda atau mendapatkan bau yang busuk. Jika anda tidak sudi hal itu menimpa dunia anda, apakah anda akan senang jika hal itu menimpa agama anda?
Tentu jawabannya lebih tidak senang. Mari kita simak sabda Rasul kita:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
“Seseorang berada di atas agama temannya.” (HR. Ahmad)
Bagaimanakah pendapat anda jika:
1. Teman anda adalah orang yang rusak agama, manhaj (pemahaman), aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan semua sendi agamanya?
2. Teman anda adalah orang yang curang, pendusta, suka menipu, dan pengkhianat?
Sudikah anda berteman bersama mereka? Jika anda mengatakan iya, berarti bersiaplah menuju kehancuran dan kehinaan hidup karena anda melanggar perintah Allah l dan Rasul-Nya. Jika anda mengatakan tidak, tahukah anda teman yang baik yang harus anda cari?
Teman yang baik adalah teman yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut; orang yang taat dan selalu menepati janji, amanah, jujur, senang berkorban, terpuji, dan orang yang menjauhi lawan dari sifat tersebut. Oleh karena itu, jika pertemanan tidak dibangun di atas ketaatan, kelak di hari kiamat akan berubah menjadi permusuhan. Allah l berfirman:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67)
Saudaraku… Anda pasti tidak akan sudi dan tidak ingin jika api itu akan membakar pakaian anda atau mendapatkan bau yang busuk. Jika anda tidak sudi hal itu menimpa dunia anda, apakah anda akan senang jika hal itu menimpa agama anda?
Tentu jawabannya lebih tidak senang. Mari kita simak sabda Rasul kita:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
“Seseorang berada di atas agama temannya.” (HR. Ahmad)
Bagaimanakah pendapat anda jika:
1. Teman anda adalah orang yang rusak agama, manhaj (pemahaman), aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan semua sendi agamanya?
2. Teman anda adalah orang yang curang, pendusta, suka menipu, dan pengkhianat?
Sudikah anda berteman bersama mereka? Jika anda mengatakan iya, berarti bersiaplah menuju kehancuran dan kehinaan hidup karena anda melanggar perintah Allah l dan Rasul-Nya. Jika anda mengatakan tidak, tahukah anda teman yang baik yang harus anda cari?
Teman yang baik adalah teman yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut; orang yang taat dan selalu menepati janji, amanah, jujur, senang berkorban, terpuji, dan orang yang menjauhi lawan dari sifat tersebut. Oleh karena itu, jika pertemanan tidak dibangun di atas ketaatan, kelak di hari kiamat akan berubah menjadi permusuhan. Allah l berfirman:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67)
Beberapa contoh pengaruh teman dalam
beragama
1. Dibawakan sebuah riwayat oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Musayyab z, tatkala beliau menyaksikan kematian Abu Thalib sebagai paman Rasulullah n. Bagi kita, tidaklah tersembunyi perihal pembelaan beliau terhadap Rasulullah n dalam mendakwahkan agama Allah l ini. Dengarkan berita ketika matinya: “Tatkala Abu Thalib di atas ranjang kematiannya, datanglah Rasulullah n kepadanya dengan menawarkan Islam, ‘Wahai pamanku, ucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku bisa membelamu kelak di sisi Allah’, dua saudara Abu Thalib yaitu Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl yang lebih dahulu hadir mendiktekan sesuatu yang bertolak belakang dengan ajakan Rasulullah n, yaitu agar Abu Thalib tetap mempertahankan agama kufurnya. Takdirlah telah mendahului dia bahwa dia harus mati dalam kondisi kafir di atas agama nenek moyangnya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t mengambil faedah melalui hadits ini dalam kitab beliau At-Tauhid bab firman Allah l: “Innaka Laa Tahdi Man Ahbabta” faedah yang kedelapan, Bahaya teman yang jahat terhadap seseorang.
2. ‘Imran bin Haththan bin Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, termasuk salah satu ulama tabi’in. Beliau meriwayatkan dari ‘Aisyah, Abu Musa, dan Ibnu Abbas g, dan yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Sirin, Qatadah, dan Yahya bin Abi Katsir. Akan tetapi beliau termasuk tokoh Khawarij. Hal ini karena awalnya dia ingin menikahi anak pamannya yang berpemahaman Khawarij. Kata Ibnu Sirin, dia menikahinya dalam rangka untuk membantahnya. Namun istrinya yang justru menyeretnya ke dalam madzhab Khawarij. Disebutkan oleh Al-Mada’ini bahwa wanita itu memiliki kecantikan, sementara dia memiliki rupa yang jelek. Pada suatu hari, dia terheran lalu wanita tersebut berkata kepadanya: “Saya dan kamu di dalam jannah karena kamu diberi lalu bersyukur dan aku diuji lalu aku bersabar.”
3. Abu Bakr Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ bin Sa’dan Al-Himyari Al-Yamani (lebih dikenal dengan Ash-Shan’ani, penulis Al-Mushannaf)
Beliau adalah hafizh besar, alim negeri Yaman. Beliau berangkat mendulang ilmu ke negeri Hijaz, Syam, dan Irak. Beliau tertipu dengan pemikiran gurunya, Ja’far bin Sulaiman Adh-Dhaba’i, sehingga terpengaruh paham Syi’ah.
4. Abu Bakr Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa, Al-Hafizh, Al-Allamah, Ats-Tsabt, Al-Faqih, Syaikhul Islam, yang masyhur dengan nama Al-Baihaqi. Beliau adalah salah satu dari sederetan ulama ahli hadits, bahkan ulama mereka. Beliau terpengaruh paham Asy’ariyyah dari Ibnu Faurak dan semisalnya.
5. Abu Dzar Al-Harawi, ‘Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ufair bin Muhammad, Al-Hafizh, Al-Imam, Al-Mujawwid, Al-’Allamah, syaikh negeri Haram. Beliau termasuk salah satu perawi Al-Bukhari dan menulis ilzamat atas Ash-Shahihain serta termasuk murid Al-Imam Ad-Daruquthni. Beliau mendengar Al-Imam Ad-Daruquthni memuji Al-Baqillani, lalu beliau terpengaruh dan mencintainya sehingga beliau terjatuh ke dalam madzhab Asy’ariyyah serta menyebarkannya di negeri Maghrib (Afrika Utara bagian barat).
(Lihat Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi dalam biografi para ulama di atas. Lihat pula tulisan Asy-Syaikh Rabi’, Syarah Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 302)
Ini adalah beberapa contoh dari sejumlah besar orang yang terpengaruh dengan paham kesesatan karena salah dalam memilih teman.
Jika hal itu terjadi pada diri para ulama besar, akankah kita akan merasa aman?
Wallahu a’lam bish-shawab.
1. Dibawakan sebuah riwayat oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Musayyab z, tatkala beliau menyaksikan kematian Abu Thalib sebagai paman Rasulullah n. Bagi kita, tidaklah tersembunyi perihal pembelaan beliau terhadap Rasulullah n dalam mendakwahkan agama Allah l ini. Dengarkan berita ketika matinya: “Tatkala Abu Thalib di atas ranjang kematiannya, datanglah Rasulullah n kepadanya dengan menawarkan Islam, ‘Wahai pamanku, ucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku bisa membelamu kelak di sisi Allah’, dua saudara Abu Thalib yaitu Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl yang lebih dahulu hadir mendiktekan sesuatu yang bertolak belakang dengan ajakan Rasulullah n, yaitu agar Abu Thalib tetap mempertahankan agama kufurnya. Takdirlah telah mendahului dia bahwa dia harus mati dalam kondisi kafir di atas agama nenek moyangnya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t mengambil faedah melalui hadits ini dalam kitab beliau At-Tauhid bab firman Allah l: “Innaka Laa Tahdi Man Ahbabta” faedah yang kedelapan, Bahaya teman yang jahat terhadap seseorang.
2. ‘Imran bin Haththan bin Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, termasuk salah satu ulama tabi’in. Beliau meriwayatkan dari ‘Aisyah, Abu Musa, dan Ibnu Abbas g, dan yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Sirin, Qatadah, dan Yahya bin Abi Katsir. Akan tetapi beliau termasuk tokoh Khawarij. Hal ini karena awalnya dia ingin menikahi anak pamannya yang berpemahaman Khawarij. Kata Ibnu Sirin, dia menikahinya dalam rangka untuk membantahnya. Namun istrinya yang justru menyeretnya ke dalam madzhab Khawarij. Disebutkan oleh Al-Mada’ini bahwa wanita itu memiliki kecantikan, sementara dia memiliki rupa yang jelek. Pada suatu hari, dia terheran lalu wanita tersebut berkata kepadanya: “Saya dan kamu di dalam jannah karena kamu diberi lalu bersyukur dan aku diuji lalu aku bersabar.”
3. Abu Bakr Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ bin Sa’dan Al-Himyari Al-Yamani (lebih dikenal dengan Ash-Shan’ani, penulis Al-Mushannaf)
Beliau adalah hafizh besar, alim negeri Yaman. Beliau berangkat mendulang ilmu ke negeri Hijaz, Syam, dan Irak. Beliau tertipu dengan pemikiran gurunya, Ja’far bin Sulaiman Adh-Dhaba’i, sehingga terpengaruh paham Syi’ah.
4. Abu Bakr Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa, Al-Hafizh, Al-Allamah, Ats-Tsabt, Al-Faqih, Syaikhul Islam, yang masyhur dengan nama Al-Baihaqi. Beliau adalah salah satu dari sederetan ulama ahli hadits, bahkan ulama mereka. Beliau terpengaruh paham Asy’ariyyah dari Ibnu Faurak dan semisalnya.
5. Abu Dzar Al-Harawi, ‘Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ufair bin Muhammad, Al-Hafizh, Al-Imam, Al-Mujawwid, Al-’Allamah, syaikh negeri Haram. Beliau termasuk salah satu perawi Al-Bukhari dan menulis ilzamat atas Ash-Shahihain serta termasuk murid Al-Imam Ad-Daruquthni. Beliau mendengar Al-Imam Ad-Daruquthni memuji Al-Baqillani, lalu beliau terpengaruh dan mencintainya sehingga beliau terjatuh ke dalam madzhab Asy’ariyyah serta menyebarkannya di negeri Maghrib (Afrika Utara bagian barat).
(Lihat Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi dalam biografi para ulama di atas. Lihat pula tulisan Asy-Syaikh Rabi’, Syarah Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 302)
Ini adalah beberapa contoh dari sejumlah besar orang yang terpengaruh dengan paham kesesatan karena salah dalam memilih teman.
Jika hal itu terjadi pada diri para ulama besar, akankah kita akan merasa aman?
Wallahu a’lam bish-shawab.
9.
Pasal ke-9(bersungguh-sungguh dan
giat)
perintah untuk bekerja
1. Pengertian
usaha atau bekerja
Usaha atau bekerja secara etimologi artinya adalah kegiatan
atau pekerjaan dalam bentuk umum. Secara terminologis sering di gunakan uantuk
semua jenis pekerjana manusia dan aktivitasnya[1].
Sedangkan Berusaha menurut muamalah adalah : secara
etimologisnya adalah “al kasbu” yg berasal dari bahasa arab yg berarti
bekerja/berusaha. Berusaha yg dimaksud disini ialah Muamalah dan murabahah/jual
beli. Sedangkan muamalah, berasal dari bahasa Arab, dari kata amala -
yu’amilu - mu’amalatan, dengan wazan fa’ala - yufa’ilu - mufa’alatan, yang
artinya bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan.Secara
terminologis, muamalah mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti
sempit. Dalam arti luas muamalah berarti aturan - aturan hukum Allah untuk
mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi atau pergaulan
sosial. Dan dalam arti sempit, muamalah berarti aturan Allah yang wajib
dita’ati, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya
dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda, dengan bekerja manusia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, keluarganya, berbagi kepada keluarganya dan
dapat membantu memenuhi kebutuhan umat islam pada umumnya.
2. Hadits tentang anjuran
untuk bekerja
Islam
sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita
yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap
diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu
sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut : “Bekerjalah
seakan-akan engkau hidup seribu tahun lagi, dan beribadahlah seakan-akan besok
engkau akan mati”(Al-Hadis)
Hadis di atas merupakan anjuran nabi Muhamad pada umatnya untuk bekerja keras dengan baik dan sungguh-sungguh untuk memperoleh ridho Allah. Bahkan nabi mewajibkan bagi muslim untuk mencari rizki yang halal. Seperti hadis di bawah ini : “Mencari yang halal itu wajib bagi setiap muslim.” (HR Thabrani)
Nabi pun bersabda bahwa sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam bekerja seperti hadis di bawah ini : "Sesungguhnya, Allah senang pada hamba-Nya yang apabila mengerjakan sesuatu berusaha untuk melakukannya dengan seindah dan sebaik mungkin. " (al-Hadits) Jika kita telaah lebih dalam, maksud dari hadis tersebut adalah jika kita berniat mencari rizki Allah dengan berwirausaha, maka lakukanlah dengan total, tidak setengah-setengan karena takut rugi. Dalam menjalankan sebuah usaha, kita harus melakukan analisis terlebih dahulu terhadap peluang yang akan kita masuki. Setelah menganalisis peluang tersebut maka kita mulai dengan konsep dan merencanakan langkah-langkah yang akan kita ambil.
Hadis di atas merupakan anjuran nabi Muhamad pada umatnya untuk bekerja keras dengan baik dan sungguh-sungguh untuk memperoleh ridho Allah. Bahkan nabi mewajibkan bagi muslim untuk mencari rizki yang halal. Seperti hadis di bawah ini : “Mencari yang halal itu wajib bagi setiap muslim.” (HR Thabrani)
Nabi pun bersabda bahwa sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam bekerja seperti hadis di bawah ini : "Sesungguhnya, Allah senang pada hamba-Nya yang apabila mengerjakan sesuatu berusaha untuk melakukannya dengan seindah dan sebaik mungkin. " (al-Hadits) Jika kita telaah lebih dalam, maksud dari hadis tersebut adalah jika kita berniat mencari rizki Allah dengan berwirausaha, maka lakukanlah dengan total, tidak setengah-setengan karena takut rugi. Dalam menjalankan sebuah usaha, kita harus melakukan analisis terlebih dahulu terhadap peluang yang akan kita masuki. Setelah menganalisis peluang tersebut maka kita mulai dengan konsep dan merencanakan langkah-langkah yang akan kita ambil.
Selain sebagai satu kewajiban, Islam juga memberikan
penghargaan yang sangat mulia bagi para pemeluknya yang dengan ikhlas bekerja
mengharapkan keridhaan Allah SWT. Penghargaan tersebut adalah sebagaimana dalam
riwayat-riwayat hadits berikut :
· Akan
diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT
مَنْ أَمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ أَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ رواه الطبراني
Dari Ibnu Abbas ra berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda, 'Barang siapa yang merasakan keletihan pada sore hari, karena
pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya, maka ia dapatkan dosanya
diampuni oleh Allah SWT pada sore hari tersebut." (HR. Imam Tabrani, dalam
Al-Mu'jam Al-Ausath VII/ 289)
· Dihapuskan
dosa-dosa tertentu yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan
shadaqah.
إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ لَذُنُوْبًا،
لاَ تُكَفِّرُهَا الصَّلاةُ وَلاَ الصِّياَمُ وَلاَ الْحَجُ وَلاَ الْعُمْرَةُ،
قَالَ وَمَا تُكَفِّرُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ الْهُمُوْمُ فِيْ طَلَبِ
الْمَعِيْشَةِ رواه الطبراني
Dari Abu
Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya diantara
dosa-dosa itu terdapat suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat,
puasa, haji dan juga umrah." Sahabat bertanya, "Apa yang bisa
menghapuskannya wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Semangat dalam
mencari rizki". (HR. Thabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath I/38)
· Mendapatkan
cinta Allah SWT
إِنَّ اللهَ اللهَ يُحِبُّ
الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ رواه الطبراني
Dari Ibnu Umar ra bersabda, 'Sesungguhnya Allah SWT
mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan giat". (HR. Imam Tabrani,
dalam Al-Mu'jam Al-Aushth VII/380)
3. Analisis lafaz atau
makna hadits
الذُّنوْب jamak min Ad-danbu yang artinyz
dosa-dosa
فِيْ طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ artinya
mencari risky
احبّ - يُحِبُّartinya
mencintai
الْمُحْتَرِفَ artinya bekerja dengan giat
4. Penjelasan hadits
Pekerjaan merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran
islam. Rasulullah SAW memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja,
dalam islam bekerja bukan sekedar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk
memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung
tinggi. Karenanya, bekerja dalam islam menempati posisi yang teramat mulia, islam
sangat menghargai orang yang mau bekerja. Bahkan hadits di atas mengatakan
bahwa “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman,
jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah”. Hal itu
menunjukkan bahwa seseorang sangat di anjurkan untuk tetap bekerja walaupun
hari kiamat terjadi. Asalkan seseorang itu mempunyai kemampuan untuk tetap
melakukan pekerjaan tersebut.
Ketika seorang merasa kelelahan atau capek setelah pulang
bekerja, maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain itu,
orang yang bekerja, berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya
sendiri baik untuk membiayai kebutuhan sendiri ataupun untuk kebutuhan
tanggungannya. Dengan demikian islam memberi apresiasi yang sangat tinggi
kepada mereka yang bekerja dengan jalan yang disyariatkan oleh Allah dengan
sekuat tenaga.
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan
yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi
nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun
kelompok. Bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga
merupakan kewajiban agama, karena bekerja dianjurkan baik menurut Al-Qur’an
maupun Al-Hadits.
B. Larangan Meminta-Minta
1. Pengertian larangan meminta-minta
serta haditsnya
Islam sangat melarang umatnya untuk selalu bergantung kepada
orang lain, bahkan Islam mengharamkan seseorang yang mampu bekerja, malah meminta-mintakepada
orang lain dan mengharap belas kasihan orang.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
مَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ
فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
Artinya :“Seseorang yang senantiasa meminta-minta kepada
manusia hingga ia datang pada hari kiamat kelak tanpa ada sekerat dagingpun di
wajahnya” {Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy}
Janganlah pernah memandang rendah pekerjaan seseorang hanya
karena pakaiannya yang lusuh dan hasil tak seberapa. Ia lebih mulia daripada
peminta-minta atau pengamen yang berkeliaran di bis kota. Ia pun jauh lebih
mulia daripada para koruptor berdasi yang hidup bergelimang harta. Di
dalam hadits lain di katakan:
حَدِيْثُ
حَكِيْمِ ابْنِ حِزَامٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلّم، قَالَ :
(اليَدُالعُلْيَاخَيْرٌمِنَ اليَدِالسُفْلَى، وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ،
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ،
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ) أخرجه البخارى فى : ۲٤- كتاب الزكاة : ۱۸- باب
لاصدقة إلاعن ظهرغنى
Artinya.“Hakim bin Hizam r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah dan mulailah dengan orang yang
menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah ialah yang dilakukan dalam keadaan
berkemampuan dan barang siapa yang memelihara dirinya daripada meminta-minta,
nescaya Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa yang merasa
berkemampuan, nescaya Allah akan memberinya kecukupan.” (Muttafaq ‘alaih)
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم :
(لَأَنْ يَحْتَتِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةًعَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌمِنْ أَنْ يَسْأَلَ
أَحَدًافَيُعْطِيَهُ أَوْيَمْنَعَهُ) أخرجه البخارى فى : ۳٤-
كتاب البيوع : ۱۵- باب كسب الرجل و عمله
بيد
Artinya.“Abuhurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
Jika seorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkat seikat kayu di atas
punggungnya (yakni untuk dijual di pasar) maka itu lebih baik baginya daripada
minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak. (Bukhari, Muslim)”.
2. Penjelasan hadis
larangan meminta-minta
Rasulullah (s.a.w) mengutamakan tangan yang memberi di atas
tangan yang meminta dan memerintahkan orang yang membelanjakan hartanya supaya
memulainya untuk diri sendiri, kemudian anak dan isterinya, lalu untuk keluarga
dan kaum kerabatnya yang paling dekat. Dari satu sisi Nabi (s.a.w) menganjurkan
para hartawan untuk menyedekahkan sebahagian hartanya yang tidak dia perlukan,
tetapi dari sisi yang lain pula baginda menganjurkan kaum fakir miskin menahan
diri daripada meminta-minta untuk memelihara kehormatan mereka. Baginda
menjelaskan kepada mereka bahawa barang siapa yang meminta kehormatan dan
kemuliaan kepada Allah, nescaya Allah akan memberinya jalan untuk meraihnya. Barang
siapa yang mencari jalan agar dia tidak meminta-mintakepada orang lain, nescaya
Allah akan membukakan jalan kepadanya dan menganugerahkan kepadanya
penyebab-penyebab yangmenjadikannya berkemampuan, memperoleh kehormatan,
dan kemuliaan.
3. Analisis Lafaz atau
makna hadits
اليَدُالعُلْيَا" ”,
maksudnya ialah tangan orang yang memberi sedekah. Ini mengikutpendapat yang
paling kuat, kerana Nabi (s.a.w) sendiri yang mentafsirkannya. Menurut
pendapat lain, maksudnya ialah tangan yang tidak mahu menerima. Menurut
pendapat yang lain lagi, maksudnya ialah tangan yang menerima tanpa meminta-minta.“خَيْر”,lebih utama. Lafaz ini
berkedudukan sebagai khabar dan lafaz “اليَدُ”
yang berkedudukan sebagai mubtada’, sedangkan lafaz “العُلْيَا ”
berkedudukan sebagai sifat kepada lafaz “اليَد”
“مِنَ اليَدِالسُفْلَى”,
menurut pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”. Pendapat yang
lain menyatakan “tangan yang tidak mahu memberi.” Menurut pendapat yang lain
lagi, “tangan yang meminta.” “وَابْدَأْبِمَنْ
تَعُوْلُ”, mulailah memberikan sedekahmu kepada orang yang wajib engkau
nafkahi. Oleh itu, janganlah engkau menyia-nyiakan mereka dan jangan pula
mengutamakan orang lain ke atas mereka.
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ
ظَهْرِغِنًى"” sedekah yang paling utama ialah sedekah
yang dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya setelah menyisakan untuk
keperluannya sendiri, agar kehidupannya tetap berjalan dengan baik dan
memberinya kecukupan hingga tidak perlu meminta-minta kepada orang lain, kerana
orang yang menyedekahkan seluruh harta miliknya sering kali menyesali
perbuatannya pada saat tidak ada gunanya lagi untuk penyesalan. Lafaz “ظهر” ditambahkan ke dalam kalimat ini untuk
mengukuhkan makna dan memberikan keluasan pengertian. Sabda Nabi (s.a.w): “عَنْ ظَهْرِغِنًى” bermaksud “غِنًى عَنْ”
(dalam keadaan berkemampuan).
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ
اللهُ"”, barang siapa yang memelihara kehormatan
dengan menjauhi perbuatan meminta-minta dan menerima apa adanya, nescaya Allah
akan memberinya rezeki berupa kehormatan dan dapat menahan diri daripada
perbuatan haram.وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ"”,
barang siapa yang memperlihatkan sikap berkemampuan dengan cara tidak
mengharapkan harta orang lain, nescaya Allah memberinya rezeki berupa sifat qana’ah
di dalam hatinya dan berkemampuan hingga tidak memerlukan bantuan orang lain.
C. Mukmin Yang Kuat Mendapat Ujian
1. Hakekat seorang mukmin
Pada hakikatnya hidup dan mati manusia adalah ujian. Dunia
adalah musim untuk menanam dan akhirat adalah musim untuk memanen, dunia adalah
negeri untuk beramal dan akhirat adalah negeri untuk memetik hasilnya. Barang
siapa yang ketika hidup di dunia banyak beramal baik, maka surga menjadi tempat
baginya di akhirat kelak. Begitu juga sebaliknya, barang siapa yang ketika
hidup di dunia banyak beramal jelek, maka tidak ada pembalasan melainkan
seimbang dengan apa yang telah ia perbuat.
Seorang muslim yang memahami hakikat ini akan sadar,
bahwasanya semua aktifitas yang ia lakukan adalah sebuah ujian. Apapun yang
menimpanya, entah suatu kebaikan atau keburukan, kelebihan atau kekurangan,
keberhasilan atau kegagalan, maka semua itu hanya ujian yang diberikan Allah
SWT kepada hamba-Nya. Allah SWT ingin melihat, apakah hamba-Nya tersebut
berhasil dalam menjalani ujian ini atau gagal didalamnya. Dalam Al Qur’an
Allah SWT telah berfirman: Artinya : “Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik
amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
2. Hadits tentang mukmin
yang kuat mendapat ujian
Jika mereka kuat dengan ujian serta cobaan tersebut, berarti
dia telah benar-benar beriman kepada Allah SWT dan baginya pahala yang
melimpah, surga tempat kembalinya. Namun, jika mereka yang awalnya beriman,
tetapi dengan datangnya ujian tersebut mereka berpaling dari Allah SWT, mereka
berpaling dari kebenaran, terbukti bahwa iman mereka lemah, cahaya keimanan
hanya sekedar dalam lisan tidak sampai kehati mereka yang munafiq.
Dalam kitabul
iman, mustadrok ‘ala shohihain dikatakan:
يا
رسول الله ، من أشد الناس بلاء ؟ قال : " الأنبياء " قال : ثم من ؟ قال
: " العلماء " قال : ثم من ؟ قال : " ثم الصالحون......
Suatu ketika Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang
sahabat, yaitu Abu Sa’id Al Khudhri: ”Wahai Rasulullah SAW, siapakah
orang yang paling berat mendapat ujian? Rasulullah SAW menjawab: “Para
Nabi” lalu siapa lagi? Rasulullah SAW menjawab: “para ulama” lalu
siapa lagi ya Rasulallah? “kemudian orang-orang yang sholeh…. (Sampai akhir
hadits)”
Hadist inipun menerangkan kepada kita bahwasanya ujian dan
cobaan itu bukan hanya untuk kita orang-orang awam semata, namun bahkan orang
yang paling berat ujian dan cobaannya seperti dikatakan dalam hadits tersebut
adalah para nabi dan rasul. Silahkan buka kisah-kisah nabi dan rosul, mereka
ternyata benar-benar mendapatkan ujian yang maha dasyat, lebih dari ujian
maupun cobaan yang kita rasakan. Contohnya Nabi Ibrahim As, mendapat
ujian dari kaumnya dengan dibakar dalam api yang menyala-nyala hingga akhirnya
pertolongan Allah SWT datang karena kekuatan iman dan ketabahannya. Allah
berfirman dalam Al Quran:
قلنا
يانار كوني بردا وسلاما على ابراهيم
“Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan
menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim",(Al Anbiya
69)
Begitu juga dengan apa yang telah dihadapi dan dirasakan
oleh para nabi dan rasul lainnya. Nabi Ayyub As beliau menderita sakit yang
sangat parah, bahkan tak seorangpun berani mendekatnya tak terkecuali istrinya
yang telah termakan rayu syaitan, beliau merasakan sakit yang sedemikian parah
selam kurang lebih 18 tahun, dan beliau kuat sekaligus tabah menghadapinya.
Hadits diatas juga menerangkan siapa lagi orang yang
mendapatkan ujian yang terberat setelah para nabi dan rasul, Beliau Rasulullah
SAW mengabarkan bahwa para ulama, kemudian orang-orang yang sholehlah yang
mendapat cobaan dan ujian terberat setelah nabi dan rasul. Mereka mendapat
cobaan baik dari orang-orang sekitar yang tidak senang dengan mereka, baik
kalangan masyarakat maupun pemerintahan. Banyak dari mereka disiksa bahkan
dibunuh, namun mereka tetap teguh dan sabar atas apa yang telah dihadapi.
Sebagai contoh, ulama besar Imam Ahmad ibn Hambali, beliau disiksa, dipenjara
dan dianiaya lantaran pendirian beliau bahwa Al Quran adalah kalamullahbukan
makhluq.
Untuk memperoleh keberhasilan dalam menghadapi ujian
tersebut, seorang muslim harus menyadari betul, bahwa ujian yang diberikan oleh
Allah SWT kepada hamba_Nya yang beriman jauh berbeda dengan ujian yang
ditimpakan kepada orang-orang kafir. Orang mukmin akan mendapatkan ujian yang
jauh lebih berat, musuh yang dihadapi sangat banyak, cobaan dan rintangan yang
harus dihadapi sangat variatif dan berlapis. Jika orang kafir hanya mempunyai
satu musuh, yaitu orang yang beriman, maka orang mukmin memiliki musuh yang
lebih dari satu. Setidaknya seorang mukmin mempunyai 5 musuh dalam hidupnya.
Musuh-musuh tersebut adalah:
1.
Setan yang selalu menjerumuskannya
2.
Hawa nafsu yang selalu menggodanya
3.
Orang-orang kafir yang selalu
memeranginya
4.
Orang-orang munafik yang senantiasa
mengintainya
5.
Orang-orang Islam lain yang
hasud/dengki kepadanya
Salah satu dari sekian bentuk ujian yang harus dihadapi oleh
setiap mukmin adalah banyaknya fitnah kehidupan di akhir jaman. Rasulullah
sendiri mengkhabarkan bahwa nasib orang-orang beriman di akhir jaman nanti
bagai para penggenggam bara. Jika bara tersebut itu dilepas, maka ia akan
padam, namun jika tetap digenggam, maka tangnnya akan terbakar.
Ini merupakan gambaran dan peringatan penting. Banyak
manusia yang tidak mampu menahan ujian dan cobaan sehingga mengakhibatkan
mereka murtad, dan yang demikian merupakan tanda dekatnya akhir jaman. Untuk
sekala lokal, barangkali yang paling nyata adalah fenomena kesulitan hidup,
kemiskinan , kesengsaraan yang membuat seseorang dengan mudah menukar
agamanya. Manusia yang tidak memiliki kualitas iman dan kesabaran yang tinggi,
sangat mungkin merubah imannya dalam bilangan hari.
Beruntunglah bagi umat manusia yang mempunyai iman yang
kuat walau banyak ujian masih senantiasa sabar, mereka pasti mampu
melawati kehidupan yang penuh dengan ujian dan cobaan ini. Mereka akan diangkat
derajatnya oleh Allah SWT menjadi makhluk yang mulia di sisi_Nya. Sebaliknya,
celakalah bagi umat manusia yang gagal dalam menjalankan ujian tersebut. Mereka akan menjadi
makhluk yang hina dan jauh dari Allah SWT. Akan tetapi perlu diperhatikan,
keberhasilan seseorang dalam menghadapi ujian tidak lain hanyalah berkat
tolongan Allah SWT, Ujian dan cobaan yang berat tersebut akan terasa lebih
ringan ketika seseorang menjadikan Allah SWT sebagai sandaran dalam hidupnya.
D. Pekerjaan Yang Lebih Baik Adalah
Pekerjaan Sendiri
1. Pengertian pekerjaan
yang lebih baik adalah pekerjaan sendiri
Sikap kerja keras amat penting dimiliki oleh setiap muslimin
dan muslimat agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka mengabdikan
diri Allah swt. Dalam pandangan Islam, bekerja merupakan suatu tugas yang
mulia, yang akan membawa diri seseorang pada posisi terhormat, bernilai, baik
di mata Allah SWT maupun di mata kaumnya. Oleh sebab itulah, Islam menegaskan
bahwa bekerja merupakan sehuah kewajiban yang setingkat dengan Ibadah. Orang
yang bekerja akan mendapat pahala sebagaimana orang beribadah.
Orang-orang yang pasif dan malas bekerja, sesungguhnya tidak
menyadari bahwa mereka telah kehilangan sebagian dari harga dirinya, yang lebih
jauh mengakibatkan kehidupannya menjadi mundur.Contoh Pekerjaan yang
paling baik
عَنْ
رِفَعَةٍ بْن رَافِعٍ اَنَّ النَّبِىَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ
اَىُّ اْلكَسَبِ اَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيِّعٍ
مَبْرُوْرٌ ( رَوَاهُ اْلبَزَار وَصَحَحَهُ الحَكِيْم )
“Dari Rifa’ah bin Rafi’ berkata bahwa Nabi Muhammad SAW
ditanya tentang usaha yang bagaimana dipandang baik?. Nabi menjawab: Pekerjaan
seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perdagangan yang bersih
dari penipuan dan hal-hal yang diharamkan.” (HR. Al-Bazzar dan ditashihkan
Hakim).
2. Analisis lahfaz atau makna hadits
a) : عَمَلُ
الرَّجُلِ بِيَدِه maksud ungkapan ini ialah pekerjaan yang
dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri (tenaganya) sendiri, seperti
pertukangan kayu, tukang batu, tukang besi, dan sebagainya), pertanian
(bertani, berkebun, nelayan dan sebagainya).
b) كُلُّ بَيِّعٍ مَبْرُوْرٌ : maksud ungkapan ini
ialah perdagangan yang bersih dari tipu daya dan hal-hal yang diharamkan.
Artinya ada unsur penipuan seperti sumpah palsu untuk melariskan barang
dagangannya dan barang yang perdagangkan itu haruslah barang-barang yang
diperolehkan menurut hukum agama dan hukum negara dengan transaksi memenuhi
syarat serta rukunnya (ash-shon’ani, 3-4).
c) Cara-cara untuk
memperoleh harta secara sah dapat dilakukan dengan banyak cara. Ada yang
melalui tanpa usaha, separti mendapat warisan, hibah (pemberian) dan shadaqah.
Ada juga yang melalui usaha jasa, seperti menjadi karyawan, buruh, pelayan,
tenaga profesional (teknisi, praktisi, pendidik dan peneliti) dan sebagainya.
Ada juga melalui usaha bekerja sendiri, seperti berdagang, bertani, berkebun,
menjadi nelayan dan sebagainya. Al-Khuli dalam kitabnya al-adab an-Nabawi
mengemukakan bahwa dari berbagai cara untuk memperoleh harta yang diutarakan di
atas maka cara yanng lebih utama adalah usaha yang dilakukan dengan tangan
sendiri. Hal ini dinyatakan Nabi SAW dalam hadis yang lain, dari Miqdam r.a
yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Nasa’i dan perawi hadist lainnya,
bahwa Nabi SAW bersabda :
مَا اَكَلَ
اَحَدٌ طَعَامَا قَطٌ خَيْرًا مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلٍ بِيَدِهِ, وَاَنَّ
النَّبِى الله دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَم كَانَ يَأْكَلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah
seseorang makan sesuap makanan lebih baik daripada ia makan dari hasil kerja
tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud a.s adalah makan dari hasil kerja
tangannya sendiri.”
Seseorang berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja keras menggunakan tangannya sendiri,
memeras keringat dan energidari badannya kemudian memakan hasilnya, sudah tentu
lebih baik dari makanan hasil dari yang baersumber peninggalan warisan,
pemberian atas kemurahan seseorang atau sedekah yang diberikan kepadanya karena
belas kasihan. Karena usaha seseorang mencari nafkah dengan memeras tenaga,
mencucurkan keringat itu akan berfaedah sehingga kalau ia makan apa yang
dimakannya menjadi terasa enak, dan makanan itu dicerna dengan cepat dan mudah
oleh pencernaan sehingga berguna bagi kesehatan tubuh. Demikianlah dijelaskan
Al-Khuli dalam mensyarahkan hadis ini.
d). Selain dari hasil kerja tangan sendiri lebih baik
dalam memenuhi kebutuhan hidup juga hadis Nabi SAW di atas mengemukakan bahwa
termasuk usaha yang terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah perniagaan
yang bersih dari penipuan dan hal-hal yang diharamkan. Kalau Nabi Daud a.s
mencari nafkah melalui usaha bekerja dengan tangannya, dalam sejarah beliau
diceritakan sebagai pandai besi, maka Nabi Muhammad SAW kita kenal dalam
sejarah bahwa beliau adalah seorang pedagang. Jadi dari petunjuk hadis ini
jelaslah bahwa usaha perdagangan termasuk usaha yang utama dalam pandangan
agama. Bagi orang yang beriman, kaum muslimin sudah tentu Rasulullah Saw adalah
teladan yang utamadan sunnah beliau adalah ikutan bagi umatnya. Menurut
kalangan ulama hadis (muhadditsin) bahwa yang dikatakan sunnah
diangkat menjadi Rasul, tetapi juga sunnah beliau, prilaku beliau sebelum
menjadi Rasul (‘Ajjaz al-Khatib 1975: 27). Jadi berdasarkan
pemikiran kalangan ahli hadis ini maka pekerjaan Nabi Saw ketika masa muda
sebagai pedagang merupakan sunnah yang patut diikuti.
e). Ash-Shon’ani mengemukakan bahwa dengan
ungkapan (yang terbaik) adalah artinya yang paling halal dan paling berkat.
Jadi secara nyata hadis ini menunjukkan bahwa usaha yang paling halal dan
berkat itu adalah usaha tangannya sendiri, kemudian baru usaha perniagaan
menunjukkan usaha dengan tangan sendiri itu lebih utama. Hal ini sejalan dengan
hadis Miqdam di atas. Walaupun demikian para ulama tetap berbeda pendapat
tentang usaha yang paling utama. Di antara tiga macam usaha yang bersifat pokok
sebagaimana dikemukakan al-Mawardi yaitu pertanian, perdagangan dan industri.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa usaha yang terbaik itu adalah usaha pertanian
karena usaha tersebut lebih dekat kepada tawakkal. Dan karena pertanian itu
membawa manfaat bukan hanya kepada manusia secara umum, tetapi juga kepada binatang-binatang.
Di samping itu usaha pertanian termasuk kepada usaha yang dilakukann dominan
dengan tangan
10. pasal ke-10(tabah hati)
Sabar : tabah saat
menghadapi cobaan hidup
Sabar
berasal dari bahasa Arab shabr (صْبِرْ ). Menurut Quarish
Shihab dalam bukunya Secercah cahaya Ilahi : hidup bersama Al Qur'an,
dijelaskan "dalam kamus-kamus Al Qur'an kata shabr(sabar) diartikan sebagai
"menahan" baik dalam pengertian fisik-material seperti menahan orang
dalam tahanan (kurungan), ataupun imaterial-nonfisik seperti menahan diri
(jiwa) dalam menghadapi sesuatu yang diinginkan." Penjelasan seterusnya
adalah "kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit,
berat, pahit yang harus diterima dengan dengan penuh tanggung jawab.
Berdasarkan kesimpulan tersebut para agamawan muslim merumuskan pengertian
sabar dalam Islam adalah "menahan diri atau membatasi jiwa dari
keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik
(luhur)"."
Sabar adalah sesuatu yang diupayakan. Bila manusia berusaha ingin kaya (di kehidupan dunia, bukan di akhirat) maka Allah akan memberikan kekayaan, sedangkan bila manusia berusaha ingin sabar, maka Allah akan memberikan kesabaran. Sesungguhnya tidak ada yang lebih baik dari mengharapkan kelapangan dan kesabaran, karena saat di akhirat akan mendapat kehidupan yang lebih baik. Agar manusia berusaha meningkatkan kesabaran, maka sebaiknya bergaul dengan orang-orang sholeh agar bisa saling menasehati tentang kesabaran.
Sabar adalah sesuatu yang diupayakan. Bila manusia berusaha ingin kaya (di kehidupan dunia, bukan di akhirat) maka Allah akan memberikan kekayaan, sedangkan bila manusia berusaha ingin sabar, maka Allah akan memberikan kesabaran. Sesungguhnya tidak ada yang lebih baik dari mengharapkan kelapangan dan kesabaran, karena saat di akhirat akan mendapat kehidupan yang lebih baik. Agar manusia berusaha meningkatkan kesabaran, maka sebaiknya bergaul dengan orang-orang sholeh agar bisa saling menasehati tentang kesabaran.
Ciri-ciri
orang sabar adalah orang yang gemetar saat mendengar nama Allah, bila mendapat
cobaan berlapang dada dan tidak gelisah atau berkeluh kesah, melakukan
perbuatan demi mengharap ridho Allah, mendirikan sholat, taat menjalankan
ibadah (sesuai ajaran Islam), berusaha menahan hawa nafsunya untuk tidak mudah
tergoda hal-hal menyesatkan di dunia, membagikan sebagian rejeki kepada yang
membutuhkan, mudah memaafkan orang lain, membalas kejahatan dengan kebaikan,
selalu minta ampun atas kesalahan-kesalahannya pada Allah.
Apabila
manusia mendapat bencana (antara lain takut, kelaparan, kekurangan harta dan
jiwa, dan cobaan hidup yang lain), hendaknya sholat dan bersikap sabar.
Sesungguhnya bencana adalah ujian kesabaran bagi umat manusia dari Allah. 0rang
beriman dan beramal shaleh, hanya akan mendapat pahala dari Allah apabila
bersikap sabar atas semua kejadian yang tidak menyenangkan yang menimpa
dirinya. Bila orang mau bersikap sabar atas bencana yang menimpa dirinya, maka
Allah akan memberi ampunan atas dosa-dosanya dan pahala yang besar. Karena
semua yang ada di dunia ini tidak abadi, maka orang sabar akan diberi tempat
yang baik, yaitu surga, saat di akhirat kelak
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
لَهُمْ حِينَ نَفِدَ كُلُّ شَيْءٍ أَنْفَقَ بِيَدَيْهِ مَا يَكُنْ عِنْدِي
مِنْ خَيْرٍ لَا أَدَّخِرْهُ عَنْكُمْ وَإِنَّهُ مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللَّهُ
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَلَنْ
تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ
"Jika
kami memiliki kebaikan, maka kami tidak akan menyimpannya dari kalian semua,
namun barangsiapa merasa cukup maka Allah akan mencukupkan baginya, barangsiapa
berusahasabar maka Allah
akan menjadikannya sabar dan barangsiapa merasa (berusaha) kaya
maka Allah akan mengayakannya. Dan sungguh, tidaklah kalian diberi sesuatu yang
lebik baik dan lebih lapang dari kesabaran." (HR. Bukhari)
Allah
berfirman
إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
"kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran." (QS. Al Ashr[103] : 3)
Allah
berfirman
الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ
عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
"(yaitu)
orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang
yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan
sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami
rezkikan kepada mereka." (QS. Al Hajj[22] : 3)
Allah
berfirman
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ
يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ
أَمْرُهُ فُرُطًا
"Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunyadan adalah keadaannya itu melewati batas."
(QS. Al Kahfi[18] : 28)
Allah
berfirman
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ
السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
"
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara
sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan;
orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)," (QS. Ar
Ra'du[13] : 22)
Allah
berfirman
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ
لَا يُوقِنُونَ
"Dan
bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali
janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu
menggelisahkan kamu." (QS. Ar Ruum[30] : 60)
Allah
berfirman
وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
"Tetapi
orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diutamakan. " (Asy Syuura[42] : 43)
Allah
berfirman
الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ
بِالْأَسْحَارِ
"(yaitu)
orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya
(di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali
Imran[3] : 17)
Allah
berfirman
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ
الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
"Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar." (QS. Al Baqarah[2] : 155)
Allah
berfirman
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ
وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
"Dan
sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan
(baik buruknya) hal ihwalmu." (QS. Muhammad[47] : 31)
Allah
berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Hai
orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al Baqarah[2] :
153)
Allah
berfirman
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ
لِّمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ
"Berkatalah
orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu,
pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar". (QS.
Al Qashash[28] : 80)
Allah
berfirman
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُم
مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
"kecuali
orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh;
mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar." (QS. Huud[11] : 11)
Allah
berfirman
مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ
صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Apa yang di
sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan
sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An
Nahl[16] : 96)
Sabar berasal dari
bahasa Arab shabr (صْبِرْ ). Menurut Quarish Shihab dalam bukunya
Secercah cahaya Ilahi : hidup bersama Al Qur'an, dijelaskan "dalam
kamus-kamus Al Qur'an kata shabr(sabar)
diartikan sebagai "menahan" baik dalam pengertian fisik-material
seperti menahan orang dalam tahanan (kurungan), ataupun imaterial-nonfisik
seperti menahan diri (jiwa) dalam menghadapi sesuatu yang diinginkan."
Penjelasan seterusnya adalah "kesabaran menuntut ketabahan dalam
menghadapi sesuatu yang sulit, berat, pahit yang harus diterima dengan dengan
penuh tanggung jawab. Berdasarkan kesimpulan tersebut para agamawan muslim
merumuskan pengertian sabar dalam Islam adalah "menahan diri atau
membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih
baik (luhur)"."
11.Pasal ke-11(malu)
MALU, AKHLAK ISLAM
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”
TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).
PENJELASAN HADÎTS
A. Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.]
Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).]
B. Keutamaan Malu
1). Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran bin Husain]
Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.
2). Malu adalah cabang keimanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]
3). Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”
[Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la Radhiyallahu 'anhu]
4). Malu adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.” [Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)]
5). Malu adalah akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]
6). Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu 'anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.]
Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.” [Fathul Bâri (X/522).]
7). Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”
[Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200).]
8). Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân (no. 1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3199).]
C. Malu adalah warisan para Nabi terdahulu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…"
Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/497) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 179-180). Cet. I Dâr Ibni Hazm.]
Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[Lihat Syarh al-Arba’în (hal. 83) karya Ibnu Daqîq al-‘Îed.]
D. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salllam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar" [Al-Ahzâb/ 33:53]
Abu Sa’id al-Khudri rahimahullah berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).]
Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”[Fathul Bâri (X/522).]
E. Makna Perintah "Berbuatlah Sesukamu" di Hadits Ini
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”
Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, diantaranya:
1). Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman
Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :
"Artinya : …………….. perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan" [Fushilat : 40]
2). Perintah tersebut mengandung arti penjelasan.
Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat.]
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/498) dan Qawâ’id wa Faawâid (hal. 180)]
3). Perintah tersebut mengandung arti pembolehan.
Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.” [Fathul Bâri (X/523).]
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[Lihat Madârijus Sâlikîn (II/270).]
F. Malu Itu Ada Dua Jenis
1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]
Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).]
2). Malu yang timbul karena adanya usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]
Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Sufyan berkata,
فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
Artinya :“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).]
Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.
G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.
Artinya : “Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah k dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.” [Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).]
12.pasal ke-12(sifat takabur)
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”
TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).
PENJELASAN HADÎTS
A. Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.]
Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).]
B. Keutamaan Malu
1). Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran bin Husain]
Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.
2). Malu adalah cabang keimanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]
3). Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”
[Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la Radhiyallahu 'anhu]
4). Malu adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.” [Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)]
5). Malu adalah akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]
6). Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu 'anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.]
Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.” [Fathul Bâri (X/522).]
7). Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”
[Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200).]
8). Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân (no. 1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3199).]
C. Malu adalah warisan para Nabi terdahulu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…"
Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/497) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 179-180). Cet. I Dâr Ibni Hazm.]
Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[Lihat Syarh al-Arba’în (hal. 83) karya Ibnu Daqîq al-‘Îed.]
D. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salllam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar" [Al-Ahzâb/ 33:53]
Abu Sa’id al-Khudri rahimahullah berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).]
Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”[Fathul Bâri (X/522).]
E. Makna Perintah "Berbuatlah Sesukamu" di Hadits Ini
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”
Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, diantaranya:
1). Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman
Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :
"Artinya : …………….. perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan" [Fushilat : 40]
2). Perintah tersebut mengandung arti penjelasan.
Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat.]
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/498) dan Qawâ’id wa Faawâid (hal. 180)]
3). Perintah tersebut mengandung arti pembolehan.
Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.” [Fathul Bâri (X/523).]
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[Lihat Madârijus Sâlikîn (II/270).]
F. Malu Itu Ada Dua Jenis
1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]
Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).]
2). Malu yang timbul karena adanya usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]
Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Sufyan berkata,
فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
Artinya :“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).]
Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.
G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.
Artinya : “Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah k dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.” [Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).]
12.pasal ke-12(sifat takabur)
Salah satu penyakit hati dalam diri
manusia yang dapat menutup jalan hidayah Allah swt adalah sifat takabbur atau
sombong. Penyakit ini bisa melanda seluruh lapisan masyarakat, dari yang kaya
sampai yang miskin, orang alim dan bodoh, yang muslim maupun non muslim, dan
lain-lainnya.Sombong adalah watak utama dari Iblis, sebagaimana yang
diterangkan dalam banyak ayat dalam Al- Qur’an. Sifat sombong memang bisa
hinggap pada siapapun, namun yang lebih dominan adalah mereka yang mempunyai
banyak potensi
A. Pengertian Takabur
Takabbur secara bahasa artinya sombong
atau membanggakan diri. Orang yang takabbur selalu membanggakan
dirinya, sehingga lupa bahwa semua yang dimilikinya hanyalah karena karunia
Allah SWT semata. Dan karunia itu harus disyukuri bukan untuk
dibangga-banggakan kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilah takabur
adalah sikap merasa dirinya lebih daripada orang lain dan memandang rendah
orang lain serta tidak mau taat/ tunduk kepada Allah SWT. Penyebab sikap
takabur : harta, kedudukaan ,ilmu & keturunan.
Sifat takabbur hampir sama dengan
sifat ujub. Dimana sifat ujub adalah menganggap kelebihan yang ada pada dirinya
adalah atas usahanya sendiri. Sedangkan sifat takbbur mengganggap dirinya lebih
mampu dan meremehkan orang lain. Sebagaimana firman Allah swt berikut :
وَلاَتُصَعِّرْخَذَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَتَمْشِى فِى اْلاَرْضِ
مَرَحًاقلى اِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍج وَاقْصِدْفِى
مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَقلى اِنَّ اَنْكَرَاْلاَصْوَاتِ
لَصَوْتُ الْحَمِيْرِع
”Wala tusa’ir khaddaka linnasi wala
tamsyi fil ardi maraha. Innallaha la yuhibbu kulla mukhtalin fakhurin(18)Waqsid
fi masyyika wagdud min sautika. Inna ankaral aswati lasautulhamiru(19)”. (QS.
Lukman : 31/18 – 19)
Artinya : ”Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri(18) Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara
keledai(19)”. (QS. Lukman : 31/18 – 19)
B. Jenis-jenis Takabur
Takabur secara umum terdiri dari
3 jenis yaitu :
- Takabur kepada Allah swt, sebagaimana yang dilakukan
oleh Raja Namrud, Raja Fir’aun dan Abu Lahab.
- Takabbur kepada Rasulullah saw sehingga jauh dari taat
kepada ajaran dan perilaku Rasulullah saw.
- Takabbur kepada sesama makhluk Allah swt, seperti
takabbur karena memiliki harta yang banyak, ilmu, amal, dan nasab
dihadapan orang lain.
C. Ciri-ciri sikap takabur
Diantara ciri-ciri manusia yang suka berperilaku takabbur
adalah sebagai berikut :
- Sikap memuji diri, Sikap ini muncul karena merasa
dirinya memiliki kelebihan harta, ilmu pengetahuan, dan keturunan atau
nasab. Oleh karena itu ia merasa lebih hebat dibanding orang lain.
- Merendahkan dan meremehkan orang lain, Sikap ini bisa
diwujudkan dengan mamalingkan muka ketika bertemu dengan orang lain yang
dikenalnya, karena merasa lebih baik dan lebih hebat darinya.
- Suka mencela dan membesar-besarkan kesalahan orang
lain, Orang yang takabbur selalu menyangka bahwa dirinyalah yang
benar, baik, dan mulia serta mampu malakukan segala sesuatu. Sedangkan
orang lain dianggap rendah, kecil, hina dan tak mampu berbuat sesuatu.
Bahkan orang lain dimatanya selalu berbuat salah.
D. Bahaya Sikap Takabur :
- Sikap
tercela yang sangat dibenci oleh Allah SWT ( Q.S. An Nisa : 36 )
- Dibenci
oleh orang lain karena keangkuhannya ( Q.S. Lukman ayat 18 )
- Dapat
mematikan hati manusia ( Q.S. Al Mukmin ayat 35 )
- Tidak
mensyukuri nikmat Allah SWT ( Q.S. Al Israa ayat 83 )
- Akan
dimasukan ke dalam neraka ( Q.S. An Nahl ayat 29 )
D. Cara Menjauhi Sikap Takabur
- Membiasakan
diri dengan perilaku terpuji. Jika urusan dunia atau rezeki lihatlah
manusia yang berada dibawah. Jika urusan akherat lihatlah manusia yang ada
diatas tingkat kedekatannya dengan Allah swt.
- Membersihkan
hati dari sikap takabbur dengan cara memperbanyak zikir kepada Allah swt.
- Memperbanyak
sahabat, sehingga dengan semakin banyak sahabat akan semakin tahu sisi
kehidupan lain dari sahabatnya.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِى اَسْتَجِبْ لَكُمْقلى اِنَّ
الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ
دَاخِرِيْنَ (المؤمن : 40/60)
“Wa qala rabbukumud’uni astajiblakum. Innalladina
yastakbiruna ‘an ‘ibadati sayadkhuluna jahannama dakhirina”. (QS.
Al- Mukmin : 40/60)
Artinya : ”Dan Tuhanmu
berfirman, ”Berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya
orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk ke neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Al- Mukmin : 40/60)
Rasulullah saw bersabda :
عَنْ قَتَادَةَ وَزَادَ فِيهِ وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ
أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ
عَلَى أَحَدٍ (رواه مسلم)
“An qatadata wa zada fihi wa
innallah auha ilayya an tawada’u hatta la yafkhara ahadun ‘ala ahadin wala
yabgi ahadun ‘ala ahadin”. (HR. Muslim)
Artinya : “Dari Qatadah dan
menambah didalamnya, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada saya supaya
kalian bertawadluk hingga tidak ada seorang pun yang menganiaya orang lain dan
tidak ada seorangpun yang menyombongkan diri atas orang lain”. (HR. Muslim)
Menurut Imam Al- Ghazali ada tujuh
kenikmatan yang menyebabkan seseorang memiliki sifat takbbur yaitu :
- Ilmu pengetahuan, orang yang berilmu tinggi atau
berpendidikan tinggi merasa dirinya orang yang paling pandai bila
dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu atau berpendidikan
- Amal ibadah yang tidak jelas dapat menyebabkan sifat
takabbur apalagi bila mendapat perhatian dari orang lain
- Kebangsawanan, dapat menyebabkan takabbur karena
menganggap dirinya lebih tinggi derajadnya daripada kelompok atau kasta
lain
- Kecantikan dan ketampanan wajah, menjadikan orang
merendahkan orang lain dan berperilaku sombong
- Harta dan kekayaan, dapat menjadikan orang meremehkan
orang miskin
- Kekuatan dan kekuasaan, dengan kekuatan dan kekuasaan
yang dimilikinya ia dapat berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain
tanpa melihat statusnya
- Banyak
pengikut, teman sejati, karib kerabat yang mempunyai kedudukan dan
pejabat-pejabat tinggi.
13.Pasal
ke-13(sifat dengki)
Penyebab Dengki dan Obatnya (surah
Yusuf :8)
بِسْمِ اللهِ الرَّحمٰنِ الرَّحِيْمِ
Kemarin saya memposting kerugian
dengki dan keuntungan memaafkan. Kini ku coba menggali asbab
musabab dengki, pada ayat 8 tetap terletak di surah Yusuf;
“(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan
saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita
sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah
kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.” (Q.s. Yusuf:8)
Dengki (hasud) adalah sikap batin tidak senang terhadap
kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya dari
orang tersebut. Kita sering membenci sifat dengki pada orang lain, padahal kita
sendiri belum tentu aman dari penyakit hati yang satu ini. Bukan maksud
membela orang yang dengki, namun marilah kita mengenali peyakit yang satu ini,
kalau – kalau itu ada pada diri kita. Awal gejala orang yang
terkena dengki ; perasaan merasa kurang nyaman bila bertemu, sedih bila atau
atau iri bila melihat seseorang beruntung, ikut menyalahkan atau memojokkan
bila seseorang itu bersalah.
Di antara sebab dengki itu yang dapat kita ambil dari ayat
di atas, di antaranya ;
Merasa tersakiti;
Perasaan kita merasa tersakiti dengan perlakuan orang lain.
Seperti halnya saudara-saudara Yusuf, mereka sakit hati atas kasih sayang
ayahnya yang (hanya) menurut mereka tidak adil.
Kesombongan;
Kelebihan apapun yang kita miliki, baik itu pangkat,
kekayaan, kecantikan atau keturunan bila kurang ilmu dan kesadaran dalam
menyikapinya maka akan menimbulkan kesombongan dalam hati. Kesombongan
mendustakan kebenaran dan merendahkan orang lain. Bahkan dalam hal ibadah pun
begitu mudah kita meremehkan orang lain, karena merasa kita lah yang terbaik
dan paling benar. seperti hal nya saudara-saudara Yusuf, mereka merasa
lebih pantas mendapatkan kasih sayang yang lebih, karena mereka lebih
kuat.
Persaingan;
Persaingan dalam berbagai bidang baik itu usaha,
kerja , kedudukan, prestasi bahkan persaingan mendapatkan kasih sayang
juga bisa menyebabkan munculnya dengki.
Mengharapkan kepimpinan ;
Adanya keinginan memimpin suatu organisasi, kelompok,
menyebabkan keinginan saling menonjolkan kemampuan. Dan apabila terkalahkan
oleh orang lain dan ia tidak siap menerimanya, maka orang ini akan begitu mudah
terserang penyakit dengki
Dewasa ini terjadi perpecahan umat, juga bisa di sebabkan
penyakit dengki yang bersarang dihati ummat. Fanatik yang terlalu
terhadap suatu organisisai atau golongan turut memicu pecahnya umat.
Merasa paling benar. Sama-sama saling menyalahkan tanpa mau mendengar
pendapat segolongan tetangga. Melihat organisasi yang lain maju hati kita dongkol,
namun sebaliknya bila mereka kena masalah , maka kita tersenyum kecut, karena
merasa mereka pantas mendapatkannya.
Maaf, bila kurang berkenan. Sesungguhnya diri ini pun belum
tentu lepas dari penyakit yang satu ini.
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, ampunilah
kami dan saudara- saudara kami yang telah beriman yang lebih dahulu dari kami,
janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang- orang yang
beriman. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Q.s.Al-Hasyr:10)
Doa diatas atas do’anya para sahabat رضي الله عنهم. Para
sahabat, mereka selalu terbuka tangan untuk membantu saudaranya, bahkan mereka
rela mengorbankan nyawa mereka demi sahabat lainnya. Ketika sahabat Anshar dan
Muhajirin dipersaudarakan Rasululllah ﷺ mereka rela mengorbankan satu sama
lain, baik jiwa dan harta, bahkan ada yang menawarkan isterinya demi
saudaranya. Itulah keutamaan sifat para sahabat
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin),
atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
(Q.s.Al-Hasyr:9)
Kendati demikian mereka tetap berdo’a minta dihilang
sifat dengki. Melihat kondisi sekarang, tentu kita lebih memerlukan do’a
ini.
Doa diatas di awali dengan memohonkan ampunan untuk saudara
sesama muslim. Ini menandakan bahwa; memohonkan ampun untuk saudara muslim,
cukup sebagai kaffarat dan terapi yang ampuh bagi yang telah terlanjur
mempunyai sifat dengki . Teruslah mendoakan kebaikan kepada orang kita dengki ,
terus amalkan lah doa ini dan berupaya untuk menghilangkan sifat dengan di hati
kita ;dengan sering- sering mengingat kebaikannya, dan memaafkannya,
sering silaturrahmi dan memberi hadiah. Insya Allah dengan kesungguhan
sifat dengki akan hilang.
“ Salinglah memberi hadiah, karena hadiah menghilangkan
dengki dari hati. Dan seseorang tidak boleh merendah kan hadiah tetagganya,
walaupun hanya separuh kuku kambing. (sebagaimana ia member hadiah, maka jangan
pikirkan hadiah itu tidak berarti).” (Tirmidzi)
14.Pasal ke-14(jujur)
Jujur
Jujur adalah sikap atau sifat
seseorang yang menyatakan sesuatu degan sesungguhnya dan apa adanya, tidak
di tambahi ataupun tidak dikurangi. Sifat jujur ini harus dimiliki oleh setiap
manusia, karena sifat dan sikap ini merupakan prinsip dasar dari cerminan
akhlak seseorang. Jujur juga dapat menjadi cerminan dari kepribadian seseorang
bahkan kepribadian bangsa. Oleh sebab itulah kejujuran bernilai tinggi dalam
kehidupan manusia. Kejujuran banyak dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Dapat
kita ambil keteladanan dari Rasul kita Nabi Muhammad saw. Yang memiliki sifat
wajib bagi Rasul, salah satunya “amanat” yang berarti dapat dipercaya. Mengapa
dapat dipercaya ? Jawabannya karena kejujuran. Allah menyuruh kita untuk
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Amanat berarti kepercayaan.
Orang yang dipercaya tidak pantas untuk melakukan kebohongan.
Kejujuran adalah bekal bagi kita untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain.
Jika seseorang telah memiliki kejujuran maka sesuatu yang wajar jika bila orang
tersebut dapat dipercaya, diberi amanat , oleh orang banyak. Dan amanat itu
sendiri akan disampaikan kepada yang berhak menerimanya, bukan kepada orang
yang tidak berhak menerimanya. Orang yang jujur jugalah yang akan tenang dalam
menjalani hidup di dunia yang fana ini. Betapa hancurnya dunia akan sangat
terasa apabila mayoritas orang-orang yang jujur sangat sedikit.
Jujur
memang suatu kegiatan yang mudah, apalagi bagi kita yang memiliki iman dan
ketakwaan yang kuat kepada Allah. Tapi sangat sulit bagi mereka yang makanan
sehari-harinya berbohong . Kebohongan hanya akan membawa malapetaka bagi
kehidupan kita di dunia maupun di akhirat kelak. Sekali
berbohong ketahuan, maka jangan heran jka kepercayaan orang akan
luntur kepada kita.
Berperilaku
jujur, tidak akan merugikan kita. Justru banyak hal yang dapat kita ambil dari
kejujuran. Kejujuran membawa manfaat yang begitu banyak, antara lain dapat
membuat seseorang menjadi dapat dipercaya, disenangi orang lain, mudah mendapat
lapangan pekerjaan, dan yang paling penting adalah dicintai oleh Allah swt.
Kejujuran dapat memudahkan seseorang dalam mendapatkan pekerjaan karena
kejujuran adalah poin penting dari kepribadiaan seseorang yang dapat dijadikan
pedoman dalam menjalankan semua pekerjaannya.
Kejujuran
membawa begitu banyak manfaat bagi siapa saja yang melakukannya, dapat kita
lihat sebagai berikut :
1 . Orang jujur akan dipercaya.
Orang
jujur akan dipercaya karena ia memiliki sifat dan sikap suka berterus terang,
berbicara atau berbuat apa
adanya , tidak terjadi penambahan ataupun pengurangan kata dalam menyampaikan
amanat seseorang.
2 . Orang jujur disayangi teman.
Hal
ini dapat dilihat pada kehidupan kita sehari-hari. Semua orang tidak ada yang
suka pada pembohong dan pendusta. Sebaliknya orang sangat menyukai orang yang
memiliki sifat jujur, bicara apa adanya, dan tidak berbohong.
Oleh karena itu orang yang selalu berkata jujur memiliki banyak teman yang
sangat sayang kepadanya.
3 . Orang jujur mudah dalam
mendapatkan pekerjaan.
Hal
ini dapat dimengerti, sebab tidak seorang pun pemimpin suatu perusahaan, mau
menerima calon pegawai di perusahaannya, apabila sudah jelas-jelas orang itu
pembohong dan pendusta. Jika diterima, berarti sudah merupakan konsekuensi dari
perusahaan yang telah menerima seorang pembohong tersebut dan siap-siap menjadi
korban kebohongan orang tersebut.
4 . Orang jujur dicintai Allah swt.
Jujur
adalah perintah Allah. Orang yang melakukan kejujuran berarti menjalankan
perintah Allah, dan Allah sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang taat, dan Allah
membenci hamba-Nya yang ingkar.
Firman
Allah SWT :
يـاَيـُّهَا الَّذِيـْنَ امَنُوا
اتَّـقُوا اللهَ وَ قُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيـْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ
وَ يَغْفِرْلَكُمْ ذُنـُوْبَكُمْ، وَ مَنْ يُّـطِعِ اللهَ وَ رَسُوْلَه فَـقَدْ
فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. الاحزاب:70-71
Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar. [Al-Ahzab : 70 – 71]
يـاَيـُّهَا الَّذَيـْنَ امَنُوْا
لِمَ تَـقُوْلُـوْنَ مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ. كَـبُرَ مَقْتـًا عِنْدَ اللهِ اَنْ
تَـقُوْلُـوْا مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ. الصف:2-3
Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada
kamu kerjakan. [Ash-Shaff
: 2 – 3]
وَ قُلْ لِّـعِبَادِيْ يَـقُوْلُـوا
الَّـتِيْ هِيَ اَحْسَنُ، اِنَّ الشَّيْطنَ يَنْزَغُ بَـيْنَـهُمْ، اِنَّ
الشَّيْطنَ كَانَ لِلإِنــْسَانِ عَدُوًّا مُّبِـيْنًا. الاسراء:53
Dan
katakanlah kepada hamba-hamba-Ku : “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan (suka) menimbulkan perselisihan
diantara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi
manusia”. [Al-Israa’
: 53]
Dalil-dalil
Hadits
Hadits-hadits
Nabi SAW :
عَنْ اَبــِى بَكْرٍ الصِّدِّيـْقِ رض
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: عَلَـيْكُمْ بِـالصِّدْقِ، فَاِنــَّهُ مَعَ
اْلبِرِّ وَ هُمَا فِى اْلجَنَّةِ. وَ اِيـَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ، فَاِنــَّهُ مَعَ
اْلفُجُوْرِ وَ هُمَا فِى النـَّارِ. ابن حبان فى صحيحه
Dari
Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda : “Wajib atasmu
berlaku jujur, karena jujur itu bersama kebaikan, dan keduanya di surga. Dan
jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu bersama kedurhakaan, dan
keduanya di neraka”. [HR. Ibnu
Hibban di dalam Shahihnya]
عَنِ ابـْنِ مَسْعُوْدٍ رض قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: عَلَـيْكُمْ بِـالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَـهْدِى
اِلىَ اْلبِرِّ وَ اْلبِرُّ يَـهْدِى اِلىَ اْلجَنَّةِ. وَ مَا يَزَالُ الـرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَ يَـتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيـْقًا. وَ
اِيـَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ فَاِنَّ اْلكَذِبَ يَـهْدِى اِلىَ اْلفُجُوْرِ وَ
اْلفُجُوْرُ يَـهْدِى اِلىَ النَّارِ. وَ مَا يَزَالُ اْلعَبْدُ يَكْذِبُ وَ
يَـتَحَرَّى اْلكَذِبَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ كَـذَّابـًا. البخارى و مسلم
و ابو داود و الترمذى و صححه و اللفظ له
Dari
Ibnu Mas’ud RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Wajib atasmu berlaku
jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu
membawa ke surga. Dan terus-menerus seseorang berlaku jujur dan memilih
kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan
jauhkanlah dirimu dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada
kedurhakaan, dan durhaka itu membawa ke neraka. Dan terus menerus seorang hamba
itu berdusta dan memilih yang dusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai
pendusta”. [HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkannya dan lafadh
baginya]
15.Pasal ke-15(dusta)
"SIFAT DUSTA"
Dusta
merupakan dosa dan aib besar, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-Isra’:
36)
Dari
Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya jujur itu menunjukkan
kepada kebaikan, sedangkan kebaikan menuntun menuju Surga. Sungguh
seseorang yang membiasakan jujur niscaya dicatat di sisi Allah sebagai orang
jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada kemungkaran, sedangkan
kemungkaran menjerumuskan ke Neraka. Sungguh orang yang selalu berdusta akan
dicatat sebagai pendusta”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hakikat dari kejujuran dan keikhlasan adalah menyatakan
keimanan dan keislaman, karena sesungguhnya orang yang menampakkan
keislamannnya terbagi menjadi dua, yaitu orang mukmin dan orang munafik. Hal
yang membedakan antara keduanya adalah kejujuran dan ketulusannya, karena
sesungguhnya dasar dari kemunafikanseseorang adalah kebohongan.[1]
Jauhilah Dusta, karena dusta merusak hakikat yang sebenarnya
atas dirimu dan akan
merusakpula kondisimu dan pandangan
manusia terhadapmu. Pendusta akan menggambarkan sesuatu yang tiada seperti ada
dan ayang ada seperti tiada. Kebenaran dikatakan sebagai kebatilan, kebatilan
dikatakan kebenaran. Kebaikan dikatakan
sebagai keburukan dan keburukan dikatakan kebaikan. Akhirnya hakikat sebenarnya
tidak mampu ia kenali sebagai akibat atas kedustaannya.
Maka saat seseorang memilih untuk bersikap jujur dalam
kehidupannya, itu bersandar kepada perasaan cinta dan taatnya kepada Allah SWT.
Jika dia memilih untuk menjauhi sikap dusta, itu bersandar kepada perasaan
takutnya kepada Allah SWT. Dan jika dia begitu teguh pada kedua sikap tersebut,
itu bersandar kepada harapan hatinya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.[2]
16.Pasal ke-16(mengumpat)
Arti Ghibah
Dari
segi bahasa (lughah), ghibah berarti mengumpat, memfitnah atau
mempergunjing. Adapun dari segi istilah (isthilahi), ghibah berarti
menyebut atau memperkatakan perihal seseorang ketika orang itu tidak ada dan
sama sekali orang itu tidak suka (membencinya) bila perkataan (gunjingan)
tersebut sampai kepadanya. Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyā' mengatakan,
"Sesungguhnya definisi ghibah adalah engkau menyebut saudaramu tentang apa
yang ia tidak suka disebutkan bila hal itu sampai kepadanya" (أن حد الغيبة أن تذكرأخاك بما يكرهه لو بلغه ).
Definisi
atau pengertian tersebut sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw.:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلم. قال: أتدرون ما الغيبة؟ قالوا:
الله ورسوله اعلم. قال: ذكرك اخاك بما يكرهه. قيل: افرايت ان كان فى أخى ما اقول.
قال: ان كان فيه ماتقول فقد اغتبته وان لم يكن فيه مل تقول فقد بهته (رواه مسلم
وابو داود و احمد)
Artinya:
"Dari Abu Hurairah Ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Tahukah kamu
apakah ghibah itu?" Sahabat menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih
tahu." Rasulullah bersabda: "Yaitu engkau menyebut saudaramu tentang
apa yang ia tidak suka hal itu disebutkan." Ditanyakan: "Bagaimana
pendapat Rasulullah bila teman saya itu memang seperti yang saya katakana itu?"
Rasulullah menjawab: "Bila ia seperti yang engkau katakana, maka sungguh
engkau telah menghibahnya. Jika ia tidak seperti yang engkau katakana, maka
sungguh engkau telah menuduhnya dengan kedustaan." (HR Muslim, Abu Daud
dan Ahmad).
Di
samping menyebutkan tentang ghibah, hadis tersebut juga menyebut tentang buhtah (بهته), yaitu mengatakan tentang orang lain,
tetapi orang lain itu tidak seperti yang ia katakana. Oleh karena orang yang
dikatakan tidak seperti yang ia katakana, maka perkataan tersebut disebut
perkataan yang dusta, tuduhan kedustaan (بهته).
Kemudian, ada pula tuduhan yang berdasarkan informasi yang sampai kepada orang
yang menuduh tersebut, tetapi tuduhan tersebut tidak benar. Tuduhan yang
berdasarkan informasi yang tidak benar ini disebut ifk (افك). Al-Ghazali membedakan ghibah,
buhtah dan ifk sebagai berikut:
الغيبة ان تقول ما فيه، البهتان ان تقول ما ليس
فيه والإفك ان تقول مابلغك
B. Batasan Ghibah
Ghibah
tersebut dapat berkaitan dengan kekuarangan fisik, nasab, watak, tingkah laku,
ucapan, keagamaan dan keduniaan seseorang, termasuk di dalamnya pakaian, rumah,
dan cara jalan seseorang. Adapun yang berhubungan dengan kekuarangan fisik
seseorang, misalnya menyebut orang lain "matanya juling,"
"panunan," "hitam," "hidungnya pesek," dan
sebagainya. Yang berakaitan dengan nasab, misalnya mengatakan tentang orang
lain sebagai "anak tukang sepatu," "anak tukang bakul,"
"anak kuli bangunan," dan sebagainya. Sementara yang berhubungan
dengan akhlak (watak) dibagi menjadi dua, yaitu yang berkaitan dengan agama dan
yang berhubungan dengan keduniaan. Yang berhubungan dengan agama, semisal
mengatakan orang lain "ia pemabuk," "pembohong,"
"tidak mau shalat," "tidak mau membayar zakat," dan lain-lain.
Yang berkaitan dengan keduniaan, seperti mengatakan: ia kurang beradab, banyak
omong, banyak makan, tukang tidur, dan lain sebagainya.
Sehubungan
dengan ghibah yang berkaitan dengan agama itu, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa
ada yang berpendapat kalau dalam hal yang berhubungan dengan agama tidak
termasuk ghibah dikarenakan orang tersebut hanya menyebutkan (mencela) tentang
apa yang telah dicela oleh Allah sehingga mencelanya, misalnya dengan
mengatakan: "Orang itu durhaka," diperbolehkan. Hal ini berdasarkan
hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah dilapori tentang seorang
wanita yang banyak kebaikannya dan puasanya, tetapi ia (suka) menyakiti
tetangganya dengan lisannya. Menurut Rasulullah, wanita ini tempatnya di neraka
(هي فى النار). Sebaliknya, ketika Rasulullah Saw.
dilapori tentang seorang wanita yang sedikit shalatnya, puasanya dan
sedekahnya—kalau bersedekah hanya berupa remuk-remukan rotinya—tetapi ia tidak
pernah menyakiti tetangganya. Menurut Rasulullah, "ia tempatnya di
sorga" (هي فى الجنة) (HR Ahmad, Al-Bazzar,
Ibn Hibban dan Al-Hakim).
Pandangan
tersebut ditolak oleh al-Ghazali. Bagi al-Ghazali, pandangan ini "tidak
benar" (فاسد), sebab hadis ini
berkenaan dengan status hokum tentang wanita yang ditanyakan tersebut, bukan
dimaksudkan untuk mengetahui (menyebutkan) kekuarangan wanita tersebut. Oleh
karena itu, menyebut orang lain tentang apa yang orang lain itu tidak suka
disebutkan tetap disebut ghibah—meski berkaitan dengan masalah agama—dan
berarti "memakan daging saudaranya" (آكل لحم
أخيه).
C. Hukum Ghibah
Zainuddin
al-Malibari di dalam Irsyad al-'Ibad ila Sabil al-Rasyad mengatakan
bahwa para ulama bersepakat untuk mengharamkan ghibah. Bahkan, kebanyakan ulama
menyatakan bahwa ghibah itu dosa besar (ان الغسبة حرام
اجماعا بل قال كثيرون اتها كبيرة). Hal yang sama juga dikatakan oleh Imam
al-Ghazali. Bahkan, al-Ghazali mengatakan bahwa ghibah dalam hatipun hukumnya
haram. Alasannya adalah karena su' al-zhan (سؤ الظان) itu haram, sebagaimana perkataan yang tidak baik (سؤالقول), dan persangkaan yang tidak baik itu
letaknya di dalam hati. Akan tetapi, dalam pandangan al-Ghazali, ghibah dalam
hati itu dimaafkan.
D. Ghibah yang
Dibolehkan
Menurut
al-Ghazali, bila hanya melalui ghibah tujuan syara' yang sebenarnya dapat
digapai, maka untuk tujuan ini ghibah diperbolehkan dan dianggap tidak berdosa.
Ghibah yang diperbolehkan ini ada enam macam.Pertama, ghibah dalam arti
mengadukan kezaliman (التظلم). Maka sesungguhnya
orang yang menuturkan tentang seorang hakim yang berbuat zalim, tidak dapat
dipercaya dan menerima suap, maka hal itu merupakan ghibah bila ia tidak
terzalimi. Adapun orang yang terzalimi (dizalimi) seorang hakim, maka ia berhak
untuk mengadukan kezaliman hakim itu kepada penguasa dan berhak menyebutkan
kezaliman itu bila hanya dengan cara demikian haknya akan terpenuhi (فإن من ذكر قاضيا بالظلم والخيانة واخذ الرشوة كان مغتابا
عاصيا ان لم يكن مظلوما. أما المظلوم من جهة القاضى فله أن يتظلم الى السلطان و
ينسبه الى الظلم اذلايمكنه استيفاء حقه إلا به).
Kedua,
ghibah dalam pengertian meminta tolong untuk merubah kemungkaran dan
mengembalikan orang yang durhaka kembali ke jalan yang benar (الإستعانة على تغيير المنكر ورد العاصى الى منهج الصلاح).
Ketiga,
ghibah dalam rangka meminta fatwa terhadap mufti (ulama pemberi fatwa) tentang
apa yang harus dilakukannya berkaitan dengan kezaliman yang telah diperbuat
seseorang.
Keempat,
ghibah dalam arti mengingatkan orang Islam dari kejahatan atau ketidakbaikan.
Oleh karena itu, ketika melihat seorang ulama (fakih) berulangkali mendatangi
orang yang berbuat bid'ah atau orang yang membuat kerusakan (fasik) dan takut
si fakih itu tertular kebid'ahan dan kefasikannya, maka diperbolehkan untuk
menyingkapkan (memberitahukan) tentang kebid'ahan dan kefasikan orang itu (تحذير المسلم من الشر فإذا رايت فقيها يتردد الى مبتدع او فاسق
وخفت ان تتعدى اليه بدعته وفسقه فلك أن تكشف له بدعته وفسقه).
Kelima,
bila ada manusia yang dikenal dengan laqab (gelarnya), maka
tidak berdosa jika menyebut orang tersebut dengan gelarnya, seperti memanggil
"si pincang" atau "si buta," dengan syarat orang yang
dipanggil dengan laqabnya tersebut tidak marah (ان
يكون الإنسان معروفا بلقب يعرب عن عيبه كالأعرج والأعمش فلا اثم على من يقول بحيث
لايكرهه صاحبه لوعلمه بعد أن قد صار مشهورا به).
Keenam, bila ada orang yang
terang-terangan melakukan kefasikan, seperti seorang laki-laki yang berperilaku
sebagai seorang perempuan, maka tidak berdosa jika melakukan ghibah terhadap
kefasikan orang tersebut karena ia sendiri telah melakukan kefasikan atau
kejahatan secara terang-terangan (أن يكون مجاهرا
بالفسق كالمخنث وصاحب الماخور والمجاهر بشرب الخمر... فإذا ذكرت فيه مايتظاهر به
فلا اثم عليك).
E. Penutup
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya ghibah itu hukumnya haram.
Akan tetapi, jika hanya dengan cara ghibah itu tujuan syara' dapat ditegakkan,
maka ghibah diperbolehkan. Apabila melalui cara lain tujuan syariat dapat
dicapai, maka ghibah hukumnya haram. Wallahu a'lam (dimyati sajari).
17.Pasal ke-17(mengasung-asung)
adu Domba (
Namimah ) mengasung-asung
Mengadukan ucapan seseorang kepada
orang lain dengan tujuan merusak adalah salah satu faktor yang menyebabkan
terputusnya ikatan dan yang menyulut api kebencian serta permusuhan antar
sesama manusia.
Allah mencela pelaku perbuatan
tersebut dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak
bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.”
(Al-Qalam: 10-11).
Dalam sebuah hadits marfu’ yang
diriwayatkan Hudzaifah, disebutkan,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ.
“Tidak akan masuk Surga al-qattat
(tukang adu domba).”( Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat
Fathul Bari, 10/472. Dalam An-Nihayah karya Ibnu Atsir, 4/11 disebutkan:”
…Al-Qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan), tanpa
sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada yang lain
dengan tujuan mengadu domba.)
Ibnu Abbas meriwayatkan,
مَرَّ النَّبِيُّ بِحَائِطٍ مِنْ حِيْطَانِ الْمَدِيْنَةِ
فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِيْ قُبُوْرِهِمَا فَقَالَ
النَّبِيُّ : يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ -ثُمَّ قَالَ- بَلَى
[وَفِيْ رِوَايَةٍ: وَإِنَّهُ لَكَبِيْرٌ] كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ
بَوْلِهِ، وَكَانَ اْلآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ.
“(Suatu hari) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melewati sebuah kebun di antara kebun-kebun di Madinah.
Tiba-tiba beliau mendengar dua orang sedang disiksa di dalam kuburnya, lalu
Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Keduanya disiksa, padahal tidak
karena masalah yang besar (dalam anggapan keduanya) -lalu bersabda- benar
(dalam sebuah riwayat disebutkan, “Padahal sesungguhnya ia adalah persoalan
besar.”). Salah seorang di antaranya tidak meletakkan sesuatu untuk melindungi
diri dari percikan kencingnya dan seorang lagi (karena) suka mengadu domba.”(
Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 1/317.)
Di antara bentuk namimah yang paling
buruk adalah hasutan yang dilakukan seorang lelaki tentang istrinya atau
sebaliknya, dengan maksud untuk merusak hubungan suami istri tersebut. Demikian
juga adu domba yang dilakukan sebagian karyawan kepada teman karyawannya yang
lain. Misalnya dengan mengadukan ucapan-ucapan kawan tersebut kepada direktur
atau atasan dengan tujuan untuk memfitnah dan merugikan karyawan tersebut. Semua
hal ini hukumnya haram.
Dalil-dalil yang Mengharamkan Namimah
Allah Subhaanahu Wata’aala
berfirman:
هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيم
“Yang banyak mencela, yang kian ke
mari menghambur fitnah.” (Al-Qalam: 11)
Dan Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيد
“Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(Qaaf: 18).
Juga Allah berfirman:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat
lagi pencela.” (Al-Humazah: 1).
Yang dimaksud di sini adalah nammam
(yang melakukan adu domba).
Allah berfiman:
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa
kayu bakar” (Al-Lahab: 4).
Maksudnya adalah kiasan bagi pengadu
domba, karena istri Abu Lahab adalah orang yang suka membawa berita untuk
merusak hubungan sesama manusia, dan disebutkan di sini “kayu bakar”, karena ia
menebarkan permusuhan dan kebencian di antara manusia sebagaimana kayu bakar
menebarkan api. Adapun mengadu domba adalah gangguan yang ditujukan kepada kaum
muslimin untuk merusak hubungan sesama mereka, Allah Subhaanahu Wata’aala
berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
(Al-Ahzab: 58).
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata
: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ. (متفق عليه)
“Tidak masuk Surga orang yang suka
mengadu domba.” (Muttafaq ‘alaihi).
Dalam hadits di atas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa orang yang suka mengadu domba
tidak akan masuk Surga, jika ia tidak masuk Surga maka tidak ada tempat baginya
di akhirat kecuali di Neraka, sebab di akhirat kelak hanya ada Surga dan
Neraka, maka jika ditetapkan bahwa ia tidak masuk Surga berarti tempatnya
adalah Neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِشَرَارِكُمْ؟ قَالُوْا: بَلَى، قَالَ:
الْمَشَّاؤُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ، الْمُفْسِدُوْنَ بَيْنَ اْلأَحِبَّةِ،
الْبَاغُوْنَ لِلْبَرَّاءِ الْعَيْبَ.
“Maukah aku beritakan kepada kalian
tentang orang-orang yang jahat di antara kalian?” Para sahabat menjawab:
“Tentu”. Beliau bersabda: “(Yaitu) orang-orang yang ke sana dan ke mari
menghamburkan fitnah, orang-orang yang merusak hubungan antar orang yang
berkasih sayang, dan orang-orang yang mencari aib pada diri orang-orang yang baik.”
Mari kita renungkan sabda Rasul
shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi:
مَنْ أَشَاعَ عَلَى مُسْلِمٍ كَلِمَةً يُشِيْنُهُ بِهَا
بِغَيْرِ حَقٍّ، شَانَهُ اللهُ بِهَا فِي النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa menyiarkan berita buruk
seorang Muslim untuk memburukkannya dengan berita itu secara tidak haq, maka
dengan itu Allah akan memburukkannya di dalam api Neraka pada hari Kiamat.”
18.Pasal
ke-18(pergaulan)
1. Apabila seorang datang langsung berbicara sebelum memberi
salam maka janganlah dijawab. (HR. Ad-Dainuri dan Tirmidzi)
2. Lakukanlah ziarah dengan jarang-jarang agar lebih menambah kemesraan. (HR. Ibnu Hibban)
3. Laki-laki memberi salam kepada wantia dan wanita jangan memberi salam kepada laki-laki. (HR. Ad-Dainuri)
4. Apabila kamu saling berjumpa maka saling mengucap salam dan bersalam-salaman, dan bila berpisah maka berpisahlah dengan ucapan istighfar. (HR. Ath-Thahawi)
5. Sahabat Anas Ra berkata, "Kami disuruh oleh Rasulullah Saw agar jawaban kami tidak lebih daripada "wa'alaikum". (HR. Ad-Dainuri).
2. Lakukanlah ziarah dengan jarang-jarang agar lebih menambah kemesraan. (HR. Ibnu Hibban)
3. Laki-laki memberi salam kepada wantia dan wanita jangan memberi salam kepada laki-laki. (HR. Ad-Dainuri)
4. Apabila kamu saling berjumpa maka saling mengucap salam dan bersalam-salaman, dan bila berpisah maka berpisahlah dengan ucapan istighfar. (HR. Ath-Thahawi)
5. Sahabat Anas Ra berkata, "Kami disuruh oleh Rasulullah Saw agar jawaban kami tidak lebih daripada "wa'alaikum". (HR. Ad-Dainuri).
Penjelasan:
Yakni ketika orang non muslim (Yahudi, Nasrani, dan
lain-lain) memberi salam kepada seorang muslim maka jawabannya tidak boleh
lebih dari: "Wa'alaikum," artinya: "Dan juga bagimu". Namun
jika yang mengucapkan salam tersebut orang Islam, maka kita harus membalasnya
dengan ucapan yang lebih baik, atau minimal sama. Firman Allah, "Apabila
kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungkan segala sesuatu." (Surat 4. AN NISAA' - Ayat 86)
6. Apabila dua orang muslim saling berjumpa lalu berjabatan
tangan dan mengucap "Alhamdulillah" dan beristighfar maka Allah 'Azza
Wajalla mengampuni mereka. (HR. Abu Dawud)
7. Senyummu ke wajah saudaramu adalah sodaqoh. (Mashabih Assunnah)
8. Apabila berkumpul tiga orang janganlah yang dua orang berbisik-bisik (bicara rahasia) dan meninggalkan orang yang ketiga (karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan perasaan tidak enak baginya). (HR. Bukhari)
9. Apabila seorang bertamu lalu minta ijin (mengetuk pintu atau memanggil-manggil) sampai tiga kali dan tidak ditemui (tidak dibukakan pintu) maka hendaklah ia pulang. (HR. Bukhari)
10. Seorang tamu yang masuk ke rumah suatu kaum hendaklah duduk di tempat yang ditunjuk kaum itu sebab mereka lebih mengenal tempat-tempat aurat rumah mereka. (HR. Ath-Thabrani)
11. Menyendiri lebih baik daripada berkawan dengan yang buruk, dan kawan bergaul yang sholeh lebih baik daripada menyendiri. Berbincang-bincang yang baik lebih baik daripada berdiam dan berdiam adalah lebih baik daripada berbicara (ngobrol) yang buruk. (HR. Al Hakim)
12. Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya, maka hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping. (HR. Ahmad)
13. Sesungguhnya Allah Ta'ala menyukai kelestarian atas keakraban kawan lama, maka peliharalah kelangsungannya. (HR. Ad-Dailami)
14. Seorang mukmin yang bergaul dan sabar terhadap gangguan orang, lebih besar pahalanya dari yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
15. Amal perbuatan yang paling disukai Allah sesudah yang fardhu (wajib) ialah memasukkan kesenangan ke dalam hati seorang muslim. (HR. Ath-Thabrani)
16. Barangsiapa mengintip-intip rumah suatu kaum tanpa ijin mereka maka sah bagi mereka untuk mencolok matanya. (HR. Muslim)
17. Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya dia segera memperbaikinya. (HR. Bukhari)
18. Tiga perbuatan yang termasuk sangat baik, yaitu berzikir kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi, saling menyadarkan (menasihati) satu sama lain, dan menyantuni saudara-saudaranya (yang memerlukan). (HR. Ad-Dailami)
19. Jibril Alaihissalam yang aku cintai menyuruhku agar selalu bersikap lunak (toleran dan mengalah) terhadap orang lain. (HR. Ar-Rabii')
20. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak mengecewakannya (membiarkannya menderita) dan tidak merusaknya (kehormatan dan nama baiknya). (HR. Muslim)
21. Rasulullah Saw melarang mendatangi undangan orang-orang fasik. (HR. Ath-Thabrani)
22. Janganlah kamu duduk-duduk di tepian jalan. Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, kami memerlukan duduk-duduk untuk berbincang-bincang." Rasulullah kemudian berkata, "Kalau memang harus duduk-duduk maka berilah jalanan haknya." Mereka bertanya, "Apa haknya jalanan itu, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Memalingkan pandangan (bila wanita lewat), menghindari gangguan, menjawab ucapan salam (dari orang yang lewat), dan beramar ma'ruf nahi mungkar." (Mutafaq'alaih)
23. Termasuk sunnah bila kamu menghantar pulang tamu sampai ke pintu rumahmu. (HR. Al-Baihaqi)
24. Rasulullah Saw menerima pemberian hadiah dan mendoakan ganjaran atas pemberian hadiah tersebut. (HR. Bukhari)
25. Jangan menolak hadiah dan jangan memukul kaum muslimin. (HR. Ahmad)
26. Hendaknya kamu saling memberi hadiah. Sesungguhnya pemberian hadiah itu dapat melenyapkan kedengkian. (HR. Tirmidzi dan dan Ahmad)
27. Seorang pemuda yang menghormati orang tua karena memandang usianya yang lanjut maka Allah mentakdirkan baginya pada usia lanjut orang akan menghormatinya. (HR. Tirmidzi)
28. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah menghormati tamunya. Kewajiban menjamu tamu hanya satu hari satu malam. Masa bertamu adalah tiga hari dan sesudah itu termasuk sedekah. Tidak halal bagi si tamu tinggal lebih lama sehingga menyulitkan tuan rumah. (HR. Al-Baihaqi)
29. Barangsiapa menerima kebaikan (pemberian) dari kawannya (saudaranya) tanpa diminta hendaklah diterima dan jangan dikembalikan. Sesungguhnya itu adalah rezeki yang disalurkan Allah untuknya. (HR. Al Hakim)
30. Barangsiapa membela (nama baik dan kehormatan) saudaranya tanpa kehadirannya maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat. (HR. Al-Baihaqi)
31. Apabila kawan muslim seseorang digunjing dan dia tidak menyanggah (membelanya) padahal sebenarnya dia mampu membelanya maka Allah akan merendahkannya di dunia dan di akhirat. (HR. Al Baghowi dan Ibnu Babawih)
32. Jiwa-jiwa manusia ibarat pasukan. Bila saling mengenal menjadi rukun dan bila tidak saling mengenal timbul perselisihan. (HR. Muslim)
33. Tiada beriman seorang dari kamu sehingga dia mencintai segala sesuatu bagi saudaranya sebagaimana yang dia cintai bagi dirinya. (HR. Bukhari)
34. Hubungilah orang yang memutus hubungannya dengan kamu dan berilah (sesuatu) kepada orang yang enggan memberimu. Hindarkan dirimu dari orang yang menzalimi kamu (Artinya, jangan menghiraukan orang yang menzalimi kamu). (HR. Ahmad)
35. Belalah (tolonglah) kawanmu baik dia zalim maupun dizalimi. Apabila dia zalim, cegahlah dia dari perbuatannya dan bila dia dizalimi upayakanlah agar dia dimenangkan (dibela). (HR. Bukhari)
36. Barangsiapa tidak memperhatikan (mempedulikan) urusan kaum muslimin maka dia bukan termasuk dari mereka. (HR. Abu Dawud)
37. Jangan menunjukkan kegembiraan atas penderitaan saudaramu, niscaya Allah akan menyelamatkannya dan akan menimpakan (musibah) kepadamu. (HR. Aththusi dan Tirmidzi)
38. Apabila kamu memukul, hindarilah wajah. (HR. Mashabih Assunnah)
39. Wahai segenap manusia, sesungguhnya Robbmu satu dan bapakmu satu. Tidak ada kelebihan bagi seorang Arab atas orang Ajam (bukan Arab) dan bagi seorang yang bukan Arab atas orang Arab dan yang (berkulit) merah atas yang hitam dan yang hitam atas yang merah, kecuali dengan ketakwaannya. Apakah aku sudah menyampaikan hal ini? (HR. Ahmad)
40. Tidak boleh ada gangguan (akibat yang merugikan dan menyedihkan) dan tidak boleh ada paksaan. (HR. Malik)
41. Cukup jahat orang yang menghina saudaranya. (HR. Muslim)
42. Tidak halal bagi seorang muslim menjauhi (memutuskan hubungan) dengan saudaranya melebihi tiga malam. Hendaklah mereka bertemu untuk berdialog mengemukakan isi hati dan yang terbaik ialah yang pertama memberi salam (menyapa). (HR. Bukhari)
43. Barangsiapa meniru-niru tingkah laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
44. Tidak akan masuk surga orang yang suka mencuri berita (suka mendengar-dengar berita rahasia orang lain). (HR. Bukhari)
45. Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling cinta kasih dan belas kasih seperti satu tubuh. Apabila kepala mengeluh (pusing) maka seluruh tubuh tidak bisa tidur dan demam. (HR. Muslim)
46. Kawan pendamping yang sholeh ibarat penjual minyak wangi. Bila dia tidak memberimu minyak wangi, kamu akan mencium keharumannya. Sedangkan kawan pendamping yang buruk ibarat tukang pandai besi. Bila kamu tidak terjilat apinya, kamu akan terkena asapnya. (HR. Bukhari)
7. Senyummu ke wajah saudaramu adalah sodaqoh. (Mashabih Assunnah)
8. Apabila berkumpul tiga orang janganlah yang dua orang berbisik-bisik (bicara rahasia) dan meninggalkan orang yang ketiga (karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan perasaan tidak enak baginya). (HR. Bukhari)
9. Apabila seorang bertamu lalu minta ijin (mengetuk pintu atau memanggil-manggil) sampai tiga kali dan tidak ditemui (tidak dibukakan pintu) maka hendaklah ia pulang. (HR. Bukhari)
10. Seorang tamu yang masuk ke rumah suatu kaum hendaklah duduk di tempat yang ditunjuk kaum itu sebab mereka lebih mengenal tempat-tempat aurat rumah mereka. (HR. Ath-Thabrani)
11. Menyendiri lebih baik daripada berkawan dengan yang buruk, dan kawan bergaul yang sholeh lebih baik daripada menyendiri. Berbincang-bincang yang baik lebih baik daripada berdiam dan berdiam adalah lebih baik daripada berbicara (ngobrol) yang buruk. (HR. Al Hakim)
12. Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya, maka hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping. (HR. Ahmad)
13. Sesungguhnya Allah Ta'ala menyukai kelestarian atas keakraban kawan lama, maka peliharalah kelangsungannya. (HR. Ad-Dailami)
14. Seorang mukmin yang bergaul dan sabar terhadap gangguan orang, lebih besar pahalanya dari yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
15. Amal perbuatan yang paling disukai Allah sesudah yang fardhu (wajib) ialah memasukkan kesenangan ke dalam hati seorang muslim. (HR. Ath-Thabrani)
16. Barangsiapa mengintip-intip rumah suatu kaum tanpa ijin mereka maka sah bagi mereka untuk mencolok matanya. (HR. Muslim)
17. Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya dia segera memperbaikinya. (HR. Bukhari)
18. Tiga perbuatan yang termasuk sangat baik, yaitu berzikir kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi, saling menyadarkan (menasihati) satu sama lain, dan menyantuni saudara-saudaranya (yang memerlukan). (HR. Ad-Dailami)
19. Jibril Alaihissalam yang aku cintai menyuruhku agar selalu bersikap lunak (toleran dan mengalah) terhadap orang lain. (HR. Ar-Rabii')
20. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak mengecewakannya (membiarkannya menderita) dan tidak merusaknya (kehormatan dan nama baiknya). (HR. Muslim)
21. Rasulullah Saw melarang mendatangi undangan orang-orang fasik. (HR. Ath-Thabrani)
22. Janganlah kamu duduk-duduk di tepian jalan. Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, kami memerlukan duduk-duduk untuk berbincang-bincang." Rasulullah kemudian berkata, "Kalau memang harus duduk-duduk maka berilah jalanan haknya." Mereka bertanya, "Apa haknya jalanan itu, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Memalingkan pandangan (bila wanita lewat), menghindari gangguan, menjawab ucapan salam (dari orang yang lewat), dan beramar ma'ruf nahi mungkar." (Mutafaq'alaih)
23. Termasuk sunnah bila kamu menghantar pulang tamu sampai ke pintu rumahmu. (HR. Al-Baihaqi)
24. Rasulullah Saw menerima pemberian hadiah dan mendoakan ganjaran atas pemberian hadiah tersebut. (HR. Bukhari)
25. Jangan menolak hadiah dan jangan memukul kaum muslimin. (HR. Ahmad)
26. Hendaknya kamu saling memberi hadiah. Sesungguhnya pemberian hadiah itu dapat melenyapkan kedengkian. (HR. Tirmidzi dan dan Ahmad)
27. Seorang pemuda yang menghormati orang tua karena memandang usianya yang lanjut maka Allah mentakdirkan baginya pada usia lanjut orang akan menghormatinya. (HR. Tirmidzi)
28. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah menghormati tamunya. Kewajiban menjamu tamu hanya satu hari satu malam. Masa bertamu adalah tiga hari dan sesudah itu termasuk sedekah. Tidak halal bagi si tamu tinggal lebih lama sehingga menyulitkan tuan rumah. (HR. Al-Baihaqi)
29. Barangsiapa menerima kebaikan (pemberian) dari kawannya (saudaranya) tanpa diminta hendaklah diterima dan jangan dikembalikan. Sesungguhnya itu adalah rezeki yang disalurkan Allah untuknya. (HR. Al Hakim)
30. Barangsiapa membela (nama baik dan kehormatan) saudaranya tanpa kehadirannya maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat. (HR. Al-Baihaqi)
31. Apabila kawan muslim seseorang digunjing dan dia tidak menyanggah (membelanya) padahal sebenarnya dia mampu membelanya maka Allah akan merendahkannya di dunia dan di akhirat. (HR. Al Baghowi dan Ibnu Babawih)
32. Jiwa-jiwa manusia ibarat pasukan. Bila saling mengenal menjadi rukun dan bila tidak saling mengenal timbul perselisihan. (HR. Muslim)
33. Tiada beriman seorang dari kamu sehingga dia mencintai segala sesuatu bagi saudaranya sebagaimana yang dia cintai bagi dirinya. (HR. Bukhari)
34. Hubungilah orang yang memutus hubungannya dengan kamu dan berilah (sesuatu) kepada orang yang enggan memberimu. Hindarkan dirimu dari orang yang menzalimi kamu (Artinya, jangan menghiraukan orang yang menzalimi kamu). (HR. Ahmad)
35. Belalah (tolonglah) kawanmu baik dia zalim maupun dizalimi. Apabila dia zalim, cegahlah dia dari perbuatannya dan bila dia dizalimi upayakanlah agar dia dimenangkan (dibela). (HR. Bukhari)
36. Barangsiapa tidak memperhatikan (mempedulikan) urusan kaum muslimin maka dia bukan termasuk dari mereka. (HR. Abu Dawud)
37. Jangan menunjukkan kegembiraan atas penderitaan saudaramu, niscaya Allah akan menyelamatkannya dan akan menimpakan (musibah) kepadamu. (HR. Aththusi dan Tirmidzi)
38. Apabila kamu memukul, hindarilah wajah. (HR. Mashabih Assunnah)
39. Wahai segenap manusia, sesungguhnya Robbmu satu dan bapakmu satu. Tidak ada kelebihan bagi seorang Arab atas orang Ajam (bukan Arab) dan bagi seorang yang bukan Arab atas orang Arab dan yang (berkulit) merah atas yang hitam dan yang hitam atas yang merah, kecuali dengan ketakwaannya. Apakah aku sudah menyampaikan hal ini? (HR. Ahmad)
40. Tidak boleh ada gangguan (akibat yang merugikan dan menyedihkan) dan tidak boleh ada paksaan. (HR. Malik)
41. Cukup jahat orang yang menghina saudaranya. (HR. Muslim)
42. Tidak halal bagi seorang muslim menjauhi (memutuskan hubungan) dengan saudaranya melebihi tiga malam. Hendaklah mereka bertemu untuk berdialog mengemukakan isi hati dan yang terbaik ialah yang pertama memberi salam (menyapa). (HR. Bukhari)
43. Barangsiapa meniru-niru tingkah laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
44. Tidak akan masuk surga orang yang suka mencuri berita (suka mendengar-dengar berita rahasia orang lain). (HR. Bukhari)
45. Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling cinta kasih dan belas kasih seperti satu tubuh. Apabila kepala mengeluh (pusing) maka seluruh tubuh tidak bisa tidur dan demam. (HR. Muslim)
46. Kawan pendamping yang sholeh ibarat penjual minyak wangi. Bila dia tidak memberimu minyak wangi, kamu akan mencium keharumannya. Sedangkan kawan pendamping yang buruk ibarat tukang pandai besi. Bila kamu tidak terjilat apinya, kamu akan terkena asapnya. (HR. Bukhari)
Sumber:
1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr.
19.Pasal ke-19(adab-adab di majlis)
Risalah Islam, merupakan satu paket risalah universal yang
sungguh sempurna yang mencakup semua aspek kehidupan, baik perseorangan maupun
kolektif, mulai dari perkara ibadah, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan
lain sebagainya. Kesempurnaan Islam ini tidak luput membahas tentang adab-adab
dalam bermajelis, dimana tidak sedikit dari kaum muslimin, bahkan para aktivis
dakwah, kurang memperhatikan bagaimana Rasulullah telah mencontohkan.
ADABUL MAJLIS
Mengetahui adab-adab dalam majelis adalah suatu keniscyaan
dan keutamaan tersendiri sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(QS
Al Israa’ 17 : 36).
Sabda Nabi Muhammad Saw :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu wajib bagi tiap
muslim”.
Maka adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk mengetahui
ilmunya terlebih dahulu sebelum beramal, sebagaimana Imam Bukhari telah
menjadikan bab
العام قبل القول والعمل
“Ilmu sebelum berkata dan
beramal”.
Berikut ini adalah adab-adab dalam bermajelis :
1. Disunnahkan
membuka majelis dengan khutbatul hajah.
2. Mengucapkan
salam kepada ahli majelis jika ia hendak masuk dan duduk pada majelis tersebut,
hendaknya ia mengikuti majelis tersebut hingga selesai. Jika ia hendak
meninggalkan majelis tersebut, ia harus meminta izin kepada ahli majelis lalu
mengucapkan salam. Sebagaimana Abu Hurairah Radhiallaahu ‘anhu telah
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda :
“Apabila salah seorang kamu
sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak
baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis
hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih berhak daripada yang
selanjutnya.
(HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).
(HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).
3. Tidak
menyuruh seseorang berdiri, pindah atau bergeser agar ia menempati tempat duduknya,
dan selayaknya bagi ahli majelis yang telah duduk dalam majelis merenggangkan
tempat duduknya, agar seseorang yang mendatangi majelis tadi mendapatkan tempat
duduk. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah :
لا يقيمن أحدكم رجلا من مجلسه ثم
يجلس فيه, ولكن توسّغوا او تفسّحوا
” “Janganlah kalian menyuruh
temannya bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi hendaklah kamu
memperluasnya.” .
(Muttafaq ‘alaihi).
(Muttafaq ‘alaihi).
4. Tidak
memisahkan dua orang yang sedang duduk agar ia dapat duduk di tengah-tengahnya,
kecuali dengan seizinnya, sebagaimana dalam hadits :
لا يحلّ لرجل أن يفرّق بين إثنين
إلا بإذنها
“Tidak halal bagi seorang
laki-laki duduk di antara dua orang dengan memisahkan mereka kecuali dengan
izinnya.”.
(HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
(HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
5. Hendaknya
duduk di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah telah menuturkan :Adalah kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa sallam maka masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di
majlis. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).5.
Apabila seseorang bangkit dari tempat duduknya meninggalkan majelis kemudian
kembali lagi, maka ia lebih berhak duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi.
Sebagaimana dalam sabda Nabi Saw :
إذا قام احدكم من مجلس ثم رجع
إليه فهو أحقّ به
“Apabila seseorang bangkit dari
duduknya lalu ia kembali, maka ia lebih berhaq duduk di tempatnya tadi.”
(HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
(HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
6. Tidak
duduk di tengah-tengah halaqoh/majelis, dalilnya :
أنّ رسول الله صلّى الله عليه و
سلّم لعن من جلس في وسط الحلقة
“Rasulullah Saw melaknat orang
yang duduk di tengah-tengah halaqoh.”
(HR. Abu Dawud)
(HR. Abu Dawud)
7. Menghormati
Majelis. Termasuk dalam hal ini dengan tenang dan sopan, tidak terlalu banyak
berbicara, bersenda gurau ataupun berbantah-bantahan yang sia-sia. Juga tidak
berbicara dua orang saja dengan berbisik-bisik tanpa melibatkan ahli majelis
lainnya.
8. Tidak
memandang ajnabiyah (wanita bukan mahram), berbasa-basi dengannya, ataupun
melanggar batas hubungan lelaki dengan wanita muslimah bukan mahram, baik
kholwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita bukan mahram) maupun
ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram).
9. Disunnahkan
menutup majelis dengan do’a kafaratul majelis. Lafadhnya adalah sebagai berikut
:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا
إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
“Maha Suci Engkau ya Allah,
dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah
melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
(HR. Turmudzi, Shahih).
(HR. Turmudzi, Shahih).
Bid’ah – Bid’ah yang Sering
Terjadi dalam Suatu Majelis
1. Ra’isul
majelis (pemimpin majlis) mengajak jama’ah (ahli majelis) membaca atau
mengucapkan basmalah secara bersama-sama, dengan suara yang jahr (keras) dalam
rangka membuka majelis. Termasuk pula membaca Al-Fatihah pada permulaan majelis
sebagai pembuka.
2. Membuka
majelis dengan senantiasa melazimkan tilawah Al-Qur’an, yakni dengan cara
menyuruh seseorang membaca ayat dari Al-Qur’an. Mengenai hal ini, dalam
kitab Al-Bida’, Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin
rahimahullah, ditanya sebagai berikut :
Pertanyaan : Pembukaan
muhadharah (ceramah) dan nadwah (pertemuan) dengan membaca sesuatu dari
Al-Qur’an, apakah termasuk perkara yang disyari’atkan ?
Jawab : Saya tak mengetahui sunnah yang demikian dari Rasulullah r, padahal Nabi ‘alaihi sholatu wa salam pernah mengumpulkan para sahabatnya ketika hendak perang atau ketika hendak membahas perkara penting kaum muslimin, tidaklah aku ketahui, bahwa Nabi membuka pertemuan tersebut dengan sesuatu dari Al-Qur’an. Akan tetapi jika pertemuan atau muhadharah tersebut mengambil suatu tema/bahasan tertentu dan ada seseorang yang ingin membaca sesuatu dari Al-Qur’an yang ada hubungannya dari bahasan tema tersebut untuk dijadikannya sebagai pembuka, maka tidaklah mengapa. Dan adapun menjadikan pembukaan suatu pertemuan atau muhadharah dengan ayat Al-Qur’an secara terus menerus seolah-olah sunnah yang dituntunkan, maka yang demikian ini adalah tidak layak diamalkan.
Jawab : Saya tak mengetahui sunnah yang demikian dari Rasulullah r, padahal Nabi ‘alaihi sholatu wa salam pernah mengumpulkan para sahabatnya ketika hendak perang atau ketika hendak membahas perkara penting kaum muslimin, tidaklah aku ketahui, bahwa Nabi membuka pertemuan tersebut dengan sesuatu dari Al-Qur’an. Akan tetapi jika pertemuan atau muhadharah tersebut mengambil suatu tema/bahasan tertentu dan ada seseorang yang ingin membaca sesuatu dari Al-Qur’an yang ada hubungannya dari bahasan tema tersebut untuk dijadikannya sebagai pembuka, maka tidaklah mengapa. Dan adapun menjadikan pembukaan suatu pertemuan atau muhadharah dengan ayat Al-Qur’an secara terus menerus seolah-olah sunnah yang dituntunkan, maka yang demikian ini adalah tidak layak diamalkan.
3. Selalu
mengucapkan atau memulai dengan salam setiap hendak berbicara dalam majelis,
baik saat akan memberikan usulan di tengah-tengah majelis ataupun setiap
dimintai pendapat. Yang termasuk sunnah adalah mengucapkan salam setiap akan
masuk atau meninggalkan majelis.
4. Mengakhiri
majelis dengan mengajak jama’ah (ahli majelis) untuk membaca sholawat,
hamdalah, istighfar dan kafaratul majelis secara bersama-sama, dengan suara
yang jahr dan secara terus menerus. Mengakhiri majelis dengan selalu berdo’a,
di mana ahli majelis mengamini bacaan do’a ra’isul majelis. Lebih parah lagi
jika ra’isul majelis menyebut “Al-Fatihah!!!” pada akhir do’a dengan keras, dan
jama’ah membacanya secara bersama-sama, kemudian mengusap wajah dengan telapak
tangan.
Demikian, semoga bermanfaat. Apabila yang ana sampaikan itu
benar, maka ikutilah, karena kebenaran itu hanya berasal dari Allah dan
RasulNya.
Subhanakallohhumma wa bihamdika,
asyhadu allaa ilaaha illa anta astagfiruka wa atubuilaik ..Wallahu Waliyyut-Taufiq.
20.Pasal ke-20(adab makan dan minum)
Adab Makan dan Minum
Seorang muslimah makan sambil berjalan, makan dengan tangan
kiri, tanpa berdoa, bahkan menyisakan makanan, hal ini seakan sudah menjadi
pemandangan umum di kantin-kantin kampus. Betapa miris hati ini melihatnya.
Bila amal ibadah yang ringan saja sudah ditinggalkan dan disepelekan, bagaimana
dengan amalan yang besar pahalanya?? Atau mungkinkah karena hal itu hanya
merupakan suatu ibadah yang kecil kemudian kita meninggalkannya dengan alasan
kecilnya pahala yang akan kita peroleh? Tidak begitu Saudariku … Yang sedikit
apabila rutin dilakukan, maka akan menjadi banyak! Allah Ta’alaberfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (٣٣)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada rasul, dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS.
Muhammad 33)
Cukuplah firman Allah Ta’ala tersebut
menjadi nasihat bagi kita semua untuk selalu berusaha menaati perintah Allah
dan perintah Rasul-Nya, baik perintah wajib maupun anjuran (sunnah) maupun atau
perintah untuk menjauhi perkara yang dilarang. Saat ini banyak kita jumpai
seorang muslim yang menyepelekan amalan sunnah, namun berlebihan pada perkara
yang mubah. Maka perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS.
Al-Hayr : 7)
Dan di antara perintah dan larangan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah adab ketika makan dan minum.
Adab ketika Makan dan Minum
- Memakan
makanan dan minuman yang halal.Saudariku, hendaknya kita memilih makanan
yang halal. Allah Ta’ala telah memerintahkan
kepada kita agar memakan makanan yang halal lagi baik. Allah Ta’ala telah
berfirman,
يَا
أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai
para rasul, makanlah yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya
Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Mu`minun: 51)
- Mendahulukan
makan daripada shalat jika makanan telah dihidangkan.Yang dimaksud dengan
telah dihidangkan yaitu sudah siap disantap. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila makan malam telah
dihidangkan dan shalat telah ditegakkan, maka mulailah dengan makan malam
dan janganlah tergesa-gesa (pergi shalat) sampai makanmu selesai.” (Muttafaqun
‘alaih) Faidahnya supaya hati kita tenang dan tidak memikirkan
makanan ketika shalat. Oleh karena itu, yang menjadi titik ukur
adalah tingkat lapar seseorang. Apabila seseorang sangat lapar dan makanan
telah dihidangkan hendaknya dia makan terlebih dahulu. Namun, hendaknya
hal ini jangan sering dilakukan.
- Tidak
makan dan minum dengan menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan
perak.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang
yang minum pada bejana perak sesungguhnya ia mengobarkan api neraka
jahanam dalam perutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam salah
satu riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya orang yang makan
atau minum dalam bejana perak dan emas …”
- Jangan
berlebih-lebihan dan boros.Sesungguhnya berlebih-lebihan adalah di antara
sifat setan dan sangat dibenci Allah Ta’ala sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-Isra` ayat 26-27 dan Al-A’raf ayat 31.
Berlebih-lebihan juga merupakan ciri orang-orang kafir sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang mukmin makan
dengan satu lambung, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh lambung.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
- Mencuci
tangan sebelum makan.Walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mencontohkan hal ini, namun para salaf (generasi
terdahulu yang shalih) melakukan hal ini. Mencuci tangan berguna untuk
menjaga kesehatan dan menjauhkan diri dari berbagai penyakit.
- Jangan
menyantap makanan dan minuman dalam keadaan masih sangat panas ataupun
sangat dingin karena hal ini membahayakan tubuh.Mendinginkan makanan
hingga layak disantap akan mendatangkan berkah berdasarkan sabda
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya yang
demikian itu dapat mendatangkan berkah yang lebih besar.” (HR.
Ahmad)
- Tuntunan
bagi orang yang makan tetapi tidak merasa kenyang.Para sahabatradhiyallahu
‘anhum berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
makan tetapi tidak merasa kenyang.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, ”Barangkali kalian makan
berpencar (sendiri-sendiri).” Mereka menjawab, ”Benar.” Beliau
kemudian bersabda, “Berkumpullah kalian atas makanan kalian dan
sebutlah nama Allah, niscaya makanan itu diberkahi untuk kalian.” (HR.
Abu Dawud)
- Dianjurkan
memuji makanan dan dilarang mencelanya.Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sama sekali.
Apabila beliau menyukainya, maka beliau memakannya. Dan apabila beliau
tidak suka terhadapnya, maka beliau meninggalkannya. (HR. Muslim)
- Membaca tasmiyah
(basmallah) sebelum makan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallambersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian
makan, hendaklah ia membaca‘Bismillah’ (dengan menyebut nama
Allah). Jika ia lupa membacanya sebelum makan maka ucapkanlah ‘Bismillaahi
fii awwalihi wa aakhirihi’ (dengan menyebut nama Allah pada awal
dan akhir -aku makan-)” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)Di antara
faedah membaca basmallah di setiap makan adalah agar setan tidak ikut
makan apa yang kita makan. Suatu ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang duduk bersama seseorang yang sedang
makan. Orang itu belum menyebut nama Allah hingga makanan yang dia makan
itu tinggal sesuap. Ketika dia mengangkat ke mulutnya, dia mengucapkan, ‘Bismillaahi
fii awwalihii wa aakhirihi’. Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tertawa dibuatnya seraya bersabda, “Masih
saja setan makan bersamanya, tetapi ketika dia menyebut nama Allah maka
setan memuntahkan semua yang ada dalam perutnya.” (HR. Abu Dawud
dan An-Nasa`i)
- Makan
dan minum dengan tangan kanan dan dilarang dengan tangan kiri.Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari
kalian makan,makanlah dengan tangan kanan dan minumlah dengan tangan
kanan, karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan
kirinya.” (HR. Muslim)Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa salam mendoakan
keburukan bagi orang yang tidak mau makan dengan tangan kanannya.
Seseorang makan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dengan
tangan kirinya, maka beliau bersabda, “Makanlah dengan tangan
kananmu.” Orang itu menjawab, “Saya tidak bisa.” Beliau
bersabda, “Semoga kamu tidak bisa!” Orang tersebut tidak
mau makan dengan tangan kanan hanya karena sombong. Akhirnya dia
benar-benar tidak bisa mengangkat tangan kanannya ke mulutnya. (HR.
Muslim)
- Makan
mulai dari makanan yang terdekat.Umar Ibnu Abi Salamah radhiyallahu’anhumaberkata, “Saya
dulu adalah seorang bocah kecil yang ada dalam bimbingan (asuhan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tangan saya (kalau makan)
menjelajah semua bagian nampan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam menegur saya, ‘Wahai bocah bacalah bismillah, makanlah dengan tangan
kananmu, dan makanlah dari yang terdekat denganmu.’ Maka demikian
seterusnya cara makan saya setelah itu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)Hadits ini sekaligus sebagai penguat dari kedua adab makan
sebelumnya dan menjelaskan bagaimana cara menasihati anak tentang
adab-adab makan. Lihatlah bahwa nasihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam sangat dipatuhi oleh Umar Ibnu Abi Salamah pada
perkataan beliau, “ … demikian seterusnya cara makan saya setelah
itu.“
- Memungut
makanan yang jatuh, membersihkannya, kemudian memakannya.Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah
satu dari kalian makan lalu makanan tersebut jatuh, maka hendaklah ia
memungutnya dan membuang kotorannya kemudian memakannya. Jangan ia
biarkan makanan itu untuk setan.” (HR. At-Tirmidzi)Sungguh betapa
mulianya agama ini, sampai-sampai sesuap nasi yang jatuh pun sangat
dianjurkan untuk dimakan. Hal ini merupakan salah satu bentuk syukur atas
makanan yang telah Allah Ta’ala berikan dan bentuk
kepedulian kita terhadap fakir miskin.
- Makan
dengan tiga jari (yaitu dengan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah)
kemudian menjilati jari dan wadah makan selesai makan.Ka’ab bin
Malik radhiyallahu ’anhuberkata, “Saya melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jarinya.
Apabila beliau telah selesai makan, beliau menjilatinya.” (HR.
Muslim)Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
salah seorang dari kalian selesai makan, maka janganlah ia mengusap
jari-jarinya hingga ia membersihkannya dengan mulutnya (menjilatinya) atau
menjilatkannya pada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksudnya
yaitu menjilatkan pada orang lain yang tidak merasa jijik dengannya, misalnya
anaknya saat menyuapinya, atau suaminya.
- Cara
duduk untuk makanRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Aku
tidak makan dengan bersandar.” (HR. Bukhari) Maksudnya adalah
duduk yang serius untuk makan. Adapun hadits yang menyatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsaat makan duduk
dengan menduduki salah satu kaki dan menegakkan kaki yang lain
adalah dhaif (lemah). Yang benar adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam duduk bersimpuh (seperti duduk sopannya seorang
perempuan dalam tradisi Jawa) saat makan.
- Apabila
lalat terjatuh dalam minumanNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Apabila
lalat jatuh pada minuman salah seorang dari kalian maka hendaklah
ia mencelupkan lalat tersebut kemudian barulah ia buang, sebab di
salah satu sayapnya ada penyakit dan di sayap yang lain terdapat
penawarnya.” (HR. Bukhari)
- Bersyukur
kepada Allah Ta’ala setelah makanTerdapat banyak cara
bersyukur atas kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan
kepada kita, salah satunya dengan lisan kita selalu memuji Allah Ta’ala setelah
makan (berdoa setelah makan). Salah satu doa setelah makan yaitu, “alhamdulillaahi
hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi ghaira makfiyyin walaa
muwadda’in walaa mustaghnan ‘anhu rabbanaa.”(Segala puji bagi
Allah dengan puja-puji yang banyak dan penuh berkah, meski bukanlah
puja-puji yang memadai dan mencukupi dan meski tidak dibutuhkan oleh Rabb
kita.”) (HR. Bukhari)
- Buruknya
makan sambil berdiri dan boleh minum sambil berdiri, tetapi yang lebih
utama sambil duduk.Dari Amir Ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya radhiyallahu
’anhum, dia berkata, “Saya melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri dan sambil duduk.” (HR.
Tirmidzi, hadits hasan shahih)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang
seorang laki-laki minum sambil berdiri. Qatadah radhiyallahu
‘anhu berkata,“Kami bertanya kepada Anas, ‘Kalau makan?’ Dia
menjawab, ‘Itu lebih buruk -atau lebih jelek lagi-.’” (HR.
Muslim)
- Minum
tiga kali tegukan seraya mengambil nafas di luar gelas.Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam minum sebanyak tiga kali, menyebut nama Allah
di awalnya dan memuji Allah di akhirnya. (HR.Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul
Yaumi wallailah (472))Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam minum, beliau bernafas tiga kali. Beliau bersabda, “Cara
seperti itu lebih segar, lebih nikmat dan lebih mengenyangkan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Bernafas
dalam gelas dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya,“Apabila salah seorang dari kalian minum, janganlah ia bernafas di
dalam gelas.”(HR. Bukhari)
- Berdoa
sebelum minum susu dan berkumur-kumur sesudahnya.Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika minum susu maka
ucapkanlah, ‘Allahumma barik lana fihi wa zidna minhu’ (Ya Allah
berkahilah kami pada susu ini dan tambahkanlah untuk kami lebih dari itu)
karena tidak ada makanan dan minuman yang setara dengan susu.”(HR.
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (5957), dinilai hasan oleh
Al-Albani dalam Shahih al-Jami’(381))Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian minum susu
maka berkumur-kumurlah, karena sesungguhnya susu meninggalkan rasa masam
pada mulut.” (HR. Ibnu Majah (499))
- Dianjurkan
bicara saat makan, tidak diam dan tenang menikmati makanan seperti halnya
orang-orang Yahudi.Ishaq bin Ibrahim berkata, “Pernah suatu saat aku makan
dengan Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad) dan sahabatnya. Kami semua diam dan
beliau (Imam Ahmad) saat makan berkata, ‘Alhamdulillah wa
bismillah’,kemudian beliau berkata, ‘Makan sambil memuji Allah Ta’ala adalah
lebih baik dari pada makan sambil diam.’”
Semoga yang sedikit ini bermanfaat dan semoga Allah Ta’ala memberikan
kemudahan kepada kita dalam mengamalkan apa yang kita ketahui, karena hakikat
ilmu adalah amal itu sendiri. Wallahul muwaffiq.
21.Pasal ke-21(adab di masjid)
Bagi
kaum muslimin, masjid merupakan tempat mulia yang dijaga dari berbagai hal yang
men emarinya, baik maknawi ataupun lahiri. Masjid, juga memiliki nilai-nilai
khusus bagi orang-orang beriman, tempat pengagungan nama-nama Allah, syari'at
Allah ditegakkan, tempat berhubungan langsung dengan Sang Pen ipta, tempat
seorang muslim berniaga dengan Pen iptanya, tempat yang harus dijaga dari
kotoran dan najis. Allah berrman, Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya, pada waku
pagi dan waktu petang laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayar
zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi gon ang. (QS. An-Nur: 36-37). Al-Allamah Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
Ketika Allah memberikan permisalan tentang hari seorang muslim dengan apa yang
ada di dalamnya berupa petunjuk dan ilmu dengan pelita-pelita di dalam ka a
bening dan dinyalakan dengan minyak yang baik, maka hal itu ibarat pelita yang
terang, menyebutkan tempatnya yakni di masjid-masjid yang merupakan tempat di
bumi yang paling Allah intai, yang merupakan rumahNya. Tempat Dia diibadahi dan
diesakan di dalamnya. Maka Allah berrman, Di rumah-rumah (masjid-masjid) yang
Allah telah perintahkan agar disebut ... (QS. An-Nur: 36). 1 Yakni, Allah
memerintahkan dengan mengikatkan diri dengan-Nya dan menyu ikannya dari najis,
permainan yang melalaikan dan u apan serta perbuatan yang tidak pantas.
Sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang ayat
ini, "(Sesungguhnya) Al lah melarang perbuatan yang melalaikan di
dalamnya." Demikian pula dikatakan oleh Ikrimah, Abu Shalih, Adh-Dhahak,
NaIbnu Jubari, Abu Bakar Ibnu Abi Hatsmah dan Sufyan Ibnu Husein serta para
ulama' tafsir lainnya. Dan Qatadah berkata, Yakni masjid-masjid yang Allah
telah perintahkan untuk membangunnya, memakmurkannya dan menyu ikannya. 1
Demikianlah Allah menjelaskan se ara khusus tentang masjid, sebagai tempat yang
paling di intai Allah dibandingkan tempat-tempat lainya di muka bumi. Karena
itu, hendaklah seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengetahui
adab-adab dan hal-hal berkaitan dengan masjid, hingga kemudian mengamalkannya.
Adab-Adab Masjid 1. Berdo'a ketika keluar rumah menuju ke masjid Sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu Sa'ad, Ya Allah, iptakanlah ahaya di hatiku, ahaya di
lidahku, ahaya di pendengaranku, ahaya di penglihatanku, ahaya di atasku, ahaya
di bawahku, ahaya di sebelah kananku, ahaya di sebelah kiriku, ahaya dari
depanku, ahaya dari belakangku. Ciptakanlah ahaya dalam diriku, perbesarlah
ahaya itu untukku, berilah ahaya untukku, dan jadikanlah aku sebagai ahaya. Ya
Allah, berikanlah ahaya kepadaku, iptakan ahaya pada urat sarafku, ahaya dalam
dagingku, ahaya dalam darahku, ahaya di rambut dan di kulitku. [Ya Allah,
iptakanlah ahaya untukku dalam kuburku ... ahaya dalam tulangku℄. [Tambahkanlah ahaya untukku 3x℄. [Karuniakanlah bagiku ahaya di
atas ahaya℄. 2
2. Berdo'a ketika memasuki masjid dan mendahulukan kaki kanan 1Tafsir Ibnu
Katsir 3/390. 2 Lihat Hisnul Muslim oleh Syaikh Sa'id Al-Qahthani 23-24. 2 Imam
Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam kitab Al-Adzkar, dari Abu Humaid atau Abu
Usaid, Rasulullah bersabda, Apabila salah seorang di antara kalian memasuki
masjid, maka bershalawatlah kepada Nabi, kemudian katakanlah, "Ya Allah,
bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatmu." Dan apabila keluar, katakanlah,
"Ya Allah aku memohon kepadaMu sebagian karuniaMu." 3 Dan dalam
riwayat Ibnu Sunni disebutkan, Dengan nama Allah dan shalawat. 4 Dan dalam
riwayat yang lain dari Abdullah bin Amir, dari Nabi, apabila memasuki masjid,
beliau berdo'a, Aku berlindung kepada Allah Yang Agung dan wajahNya Yang Mulia,
kekuasanNya yang abadi dari syetan yang terkutuk. Beliau bersabda, Apabila
berkata demikian, maka syetan akan berkata, "Dia terjaga dariku selama
sehari penuh." 5 Mendahulukan kaki kanan ketika memasuki masjid,
berdasarkan hadits 'Aisyah, Rasulullah menyukai mendahulukan yang kanan dalam
bersandal, bersisir, bersu i dan seluruh kegiatannya. 6 3. Mengu apkan salam
kepada orang yang berada di dalam masjid Allah berrman, Maka apabila kamu
memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kamu memberikan salam kepada
penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik.
(QS. An-Nur: 61). 3Riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan Ibnu Ma jah
serta yang lainnya dengan sanad yang shahih. 4 Lihat Hishnul Muslim dan
Shahihul Kalimut Thayyib, hal. 31. 5Hishnul Muslim, Al-Adzkar dan Shahihul
Kalimut Thayyib. 6Muttafaqun 'alaih. 3 Imam Nawawi dalam kitab Riyadhush
Shalihin, bab Cara Salam, membawakan sebuah hadits, Suatu hari, Rasulullah
lewat di masjid dan terdapat sekelompok wanita sedang duduk-duduk. Maka, beliau
melambaikan tangannya sambil dengan salam. 7 4. Berdo'a ketika keluar dari
masjid dan mendahulukan kaki kiri Lihat keterangan poin no. 2, dan disebutkan
dalam riwayat yang lain ada tambahan, Ya Allah, jagalah diriku dari syetan yang
terkutuk. 8 Berdasarkan riwayat Anas, memasuki masjid memulai dengan kaki
kanan, dan apabila keluar memulai dengan kaki kiri, termasuk sunnah. 9 5.
Shalat tahiyatul masjid Dari Abu Qatadah, Rasulullah bersabda, Apabila salah
seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua rakaat sebelum duduk.
10 6. Menjauhkaan diri dari bau yang tidak sedap Dari Jabur, Rasulullah
bersabda, Barangsiapa yang memakan bawang putih atau bawang merah dan bawang
bakung, maka hendaklah ia menjauhi kami dan masjid kami dan duduk di rumahnya.
Beliau diberi satu pan i sayuran, lalu mendapati bau yang tidak sedap, beliau
(pun) bertanya. Beliau diberitahu tentang sayuran yang ada pada pan i tersebut
lalu bersabda, "Mendekatlah kalian kepadanya kepada sebagian sahabatnya."
Ketika melihatnya dan memben i untuk memakan, beliau bersabda, Makanlah,
sesungguhnya aku sedang bermunajat kepada Dzat yang tidak sedang kali munajati.
11 7HR. Tirmidzi dan beliau berkata, "Hadits hasan." 8Hishnul Muslim
24 dan Al-Adzkar. 9Al-Fath 1/623. 10HR. Muslim. 11HR. Muslim. 4 Dalam riwayat
lain, Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang berah dan bawang bakung,
maka janganlah dia mendekati masjid kami, sebab para malaikat terganggu oleh
apa yang mengganggu bani Adam. Imam Nawawi berkata dalam syarah (penjelasan
hadits)nya, Para ulama berkata, Hadits ini merupakan dalil tentang larangan
bagi orang yang memakan bawang putih dan sejenisnya untuk memasuki masjid,
walaupun masjid dalam keadaan kosong. Sebab, berdasarkan keumuman hadits,
masjid merupakan tempat para malaikat. 12 7. Menjaga kebersihan dan kesu ian
masjid Hendaknya masjid dijaga dari segala kotoran dan najis, baik itu rambut
ataupun sampah yang berserakan, potongan kuku ataupun ludah dan lain-lain.
Disebutkan dalam riwayat berikut ini. Dari Anas bin Malik, Nabi bersabda,
Meludah di masjid merupakan satu kesalahan, dan dendanya adalah menimbunnya. 13
Dalam kitab Riyadhush Shalihin, Imam Nawawi menukil u apan Abdul Mahasin
Ar-Ruyani, Yang dimaksud dengan menimbunnya, yaitu mengeluarkannya dari masjid.
Tetapi, apabila masjid itu berlantai dan berkapur, kemudiang menginjak-injaknya
dengan sepatu atau yang lainnya, sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan
orang-orang jahil (tidak mengerti), bukan menimbunnya. Bahkan merupakan
kesalahan yang berlipat dan memperbanyak kotoran di dalam masjid. Maka, bagi
yang melakukan hal ini, wajib untuk mengelap dengan bajunya, atau tangannya
atau selainnya dan (lalu) men u inya. 12Syarah Muslim 4/212. 13HR. Bukhari dan
Muslim. 5 Dalam riwayat 'Aisyah, bahwasanya Rasulullah melihat ingus atau ludah
atau dahak di tembok kiblat, maka beliau pun mengeriknya. 14 Dari Anas,
Rasulullah bersabda, Sesungguhnya, masjid ini tidaklah patut untuk sesuatu dari
ken ing dan kotoran, ke uali untuk dzikir kepada Allah, shalat dan memba a
Al-Qur'an. 15 Dalam hadits ini, terdapat petunjuk Nabi, bahwasanya masjid
merupakan tempat yuang dikhususkan untuk ibadah, seperti shalat, dzikir kepada
Allah, memba a Al-Qur'an dan majelis-majelis ilmu. Dan tidak layak untuk
sesuatu yang kotor dan najis, se ara lahiriyah ataupun maknawi. 8. Tidak
menghunus senjata di dalam masjid Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat
bab, "Menyarungkan Ujungujung Panah Apabila Memasuki, Lewat Masjid",
kemudian beliau membawakan hadits Jabir, ia (Jabir) berkata, Seseorang lewat
memasuki masjid dan bersamanya anak panah, maka Rasulullah bersabda kepadanya,
"Sarungkanlah ujungnya." Dan jalur yang lain dalam bab sesudahnya,
Barangsiapa melewati masjid-masjid kami, atau pasar-pasar kami dengan membawa
tombak, maka hendaklah ia menyarungkan ujung-ujungnya dengan tangannya hingga
tidak melukai seorang muslimpun. Dari hadits-hadits tersebut, dapat diambil
faidah, yakni adanya isyarat dari Nabi mengenai agungnya darah seorang muslim,
sedikit maupun banyak. Juga sebagai penegasan tentang kehormatan seorang muslim
dan bolehnya membawa senjata ke masjid. 9. Tidak lewat di hadapan orang yang
sedang shalat. Disebutkan dalam riwayat Abu Juhaim, Rasulullah bersabda,
14Muttafaqun 'Alaih. 15HR. Muslim. 6 Seandainya orang yang lewat di hadapan
orang (yang sedang) shalat itu mengetahui dosa yang akan ditanggungnya, maka
menunggu selama empat puluh dan hal itu lebih baik baginya daripada lewat di
hadapan orang shalat. Abu Nadhr (perawi hadits) berkata, Saya tidak tahu,
apakah beliau mengatakan empat puluh hari, atau empat puluh bulan atau empat
puluh tahun. 16 10. Tidak menerapkan hukum had dan qishah di masjid Diriwaytkan
dari Hakim bin Hazm, Nabi bersabda, Tidak boleh menerapkan hukum had di masjid
dan jangan pula qishash. 17 11. Tidak mengeraskan suara di masjid Dari As-Saib
bin Yazid, ia berkata, Ketika aku sedang berdiri di masjid, tiba-tiba seseorang
melempariku dengan kerikil. Akupun menoleh kepadanya, ternyata dia adalah Umar
bin Khattab. Ia berkata, "Pergilah dan datangkan dua orang tersebut."
Akupun membawa kedua orang tersebut. Umar bertanya, "Siapa atau darimana
kalian?" Keduanya menjawab, "Dari Tha'if." Umar kemudian
berkata, "Seandainya kalian adalah penduduk negeri ini, tentu akan membuat
kalian pingsan, kalian meninggikan suara di masjid Rasulullah. 18 12. Tidak
mengadakan jual beli di masjid Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
bersabda, Apabila kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka
katakanlah, "Semoga Allah tidak menjadikan untuk dalam perdaganganmu."
19 16Riwayat Jama'ah. 17HR. Ahmad, Hakim, Daruquthni, dan Baihaqi. Ibnu Ha jar
dalm kitab At-Talkhis berkata, "Sanadnya tidak mengapa." 18Riwayat
Al-Bukhari. 19Riwayat At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan Al-Hakim. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Syarh Riyadhush Shalihin. 7 Kedua
hadits ini mengandung larang melakukan perdagangan dunia di masjid, sebab
masjid merpuakan tempat perdagangan akhirat antara makhluk dan khaliqnya. 13.
Tidak men ari atau mengumumkan barang yang hilang Abu Hurairah meriwayatkan,
bahwasanya Nabi bersabda, Barangsiapa mendengar seseorang men ari kehilangan di
dalam masjid, maka katakanlah, "Allah tidak mengembalikannya kepadamu,
sebab masjid tidak dibangun untuk ini." 20 Yakni, tidaklah masjid dibangun
untuk urusan dunia. Tetapi dibangunnya masjid ialah untuk berdzikir, memba a
Al-Qur'an, shalat, majelis ilmu dan untuk kemaslahatan kaum muslimin di dunia
dan akhirat, tidak untuk kepentingan pribadi atau golongan. 21 14. Tidak
memasukkan atau membawa gambar atau buku-buku yang bergambar ke dalam masjid.
Masjid merupakan tempat mulia dan memiliki kehormtan. Tidaklah layak memasukkan
masjid sesuatu yang haram ke dalam masjid, karena malaikat tidak memasuki rumah
yang di dalamnya terdapat anjing dan juga gambar, Dari Ibnu Umar, ia berkata,
Jibril berjanji kepada Rasulullah untuk menemuinya, dan terlambat hingga hal
ini terasa berat bagi Rasulullah. Kemudian beliau keluar dan menemui Jibril dan
mengadu padanya. Maka dia berkata, Sesungguhnya kami tidak memasuki rumah yang
padanya terdapat anjung dan gambar. 22 Syaikh Abdul Aziz Ibnu Salman berkata,
di dalam Al-Manahilul Hisan, Dan yang perlu di ermati dan diwaspadai serta
dijauhi dari masjid-masjid adalah buku-buku yang terdapat gambar-gambar yang
bernyawa seperti huruf-huruf hijaiyah untuk anak SD kelas 1, buku muthala'ah,
dan buku-buku ilmu pengetahuan 20Riwayat Muslim. 21Lihat Syarh Riyadhush
Shalihin, Syaikh Salim Al-Hilali. 22Riwayat Al-Bukhari. 8 umum, sebab
kebanyakan para pengajar datang ke masjid dengan membawa bukubuku tersebut
untuk mengulang pelajaran dan apabila selesai ia meletakkannya di masjid.
[Kemudian beliau membawakan hadits di atas.℄ Demikian pula dengan pakaian
yang bergambar, baik untuk orang dewasa maupun anak-anak. 23 15. Ikhtilat di
dalam masjid Hal ini dilarang, dan tidak hanya di masjid, tetapi juga di tempat
manapun. Karena, nash yang melarang tentang ikhtilat bersifat umum. Dari Uqbah
ibnu Amir, Rasulullah bersabda, Hati-hatilah kalian dalam bergaul dengan
wanita. Seseorang Anshar berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana dengan
ipar?" Beliau bersabda, "Ipar adalah maut." 24 Demikian pula
dengan khalwat [bersunyi-sunyi℄
antara laki-laki dan perempuan. Rasulullah bersabda, Janganlah seorang
laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita, sebab (yang) ketiganya adalah
syetan. 25 16. Tidak memakai wewangian -khusus bagi wanitaDari Zainab, isteri
dari Abdullah ibnu Mas'ud, ia berkata, Rasulullah bersabda kepada kami, Jika
salah seorang di antara kalian shalat di masjid, maka janganlah menyentuh
wewangian. 26 17. Tidak memakai pakaian yang dapat mengganggu kekhusyu'an
shalat orang lain Dari Anas bin Malik, Adalah kain baju milik Aisyah dijadikan
sebagai gordin sisi rumahnya. Maka Nabi pun bersabda kepadanya, Jauhkanlah
gordin (beraneka warna) ini dari (sisi) kami, sebab gambar-gambarnya senantiasa
nampak dalam shalatku. 27 23Lihat lebih lengkap tentang Fatawa ibnu Utsaimin di
dalam masalah Aqidah dan juga Fiqih. 24Muttafaqun 'alaih. 25Riwayat Imam Ahmad
dari Umar ibnu Khattab. 26Riwayat Muslim. 27Riwayat Al-Bukhari. 9 18. Tidak
memba a syair-syair di dalam masjid Dari Amr ibnu Syuaib dari ayahnya, dari
kakeknya, Bahwasanya Rasulullah melarang jual beli di masjid dan men ari
sesuatu yang hilang atau memba akan syair. 28 Syaikh Salim Al-Hilali berkata
dalam syarahnya, "Boleh memba akan syair di masjid apabila terdapat
maslahat bagi kaum muslimin atau anjuran untuk memerangi musuh atau mengejek
kaum musyrikin, sebagaimana Rasulullah memerintahkan Hisam bin Tsabit untuk
mengejek orang-orang kar." 29 19. Tidak membi arakan sesuatu yang tidak
ada manfaatnya, baik dalam masalah agama ataupun dunia Berdasarkan hadits dari
As-Saib ibnu Yazid dalam Shahih Bukhari 30 . Ibnu Hajar dalam syarahnya
berkata, Bab "Meninggikan suara di dalam masjid" Penulis (yakni Imam
Bukhari -red. vbaitullah) dengan judul ini mengisyaratkan adanya khilaf tentang
masalah ini. Imam Malik memben inya se ara mutlak, baik tentang ilmu, ataupun
selainnya. Sedangkan yang lain membedakan antara sesuatu yang berkaitan dengan
tujuan agama atau manfaat dunia, dengan sesuatu yang tidak ada faidahnya sama
sekali. Al-Bukhari menunjukkan, tidak dilarang sebagai isyarat bahwasanya
larangan (tersebut) berlaku untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya, dan tidak
dilarang untuk sesuatu yang bersifat darurat. 31 Dan termasuk di dalamnya
adalah bersenda gurau maupun u apan dan perbuatan yang mengarah kepada
perbuatan-perbuatan dosa, seperti ghibah, namimah, dan lainnya. 28Riwayat Abu
Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Ma jah dengan isnadnya hasan. Lihat
Syarah Riyadhush Shalihin. 29Syarh Riyadhush Shalihin 3/194. 30Lihat poin no.
10. 31Al-Fath 1/668. 10 Hal-Hal Yang Boleh Dilakukan Di Dalam Masjid Masjid,
selain memiliki kekhususan untuk beribadah kepada Allah, seperti shalat,
dzikir, memba a Al-Qur'an dan i'tikaf dan lainnya, juga dibolehkan untuk
melakukan hal-hal lain sebatas yang telah dijelaskan oleh Pembuat syari'at.
Diantaranya, 1. Mengadakan majelis Ilmu Berdasarkan hadits dari Abu Sa'id
Al-Khudri dari Muawiyah di dalam Shahih Muslim disebutkan, Sesungguhnya
Rasulullah keluar menuju halaqah dari para sahabat. Maka, beliaupun bersabda,
"Apa yang menyebabkan kalian duduk-duduk di sini?" Mereka menjawab,
"Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah, memujiNya, atas hidayahNya
kepada kami kepada Islam dan karuniaNya kepada kami." Beliau bersabda,
"Demi Allah, tidakkah kalian duduk-duduk karena hal tersebut?" Mereka
berkata, "Demi Allah, tidaklah kami bermajelis ke uali untuk hal
tersebut." Beliau bersabda, Sesungguhnya, aku tidaklah menyuruh kalian
untuk bersumpah yang merupakan keburukan dari kalian. Namun, Jibril datang
kepadaku mengabarkan, bahwasanya Allah menyanjung kalian di hadapan para
malaikat. 2. Tidur di dalam masjid Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya
membawakan, "Bab: Tidurnya Lelaki Di Dalam Masjid" dan membawakan
beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan dari Sahl Ibnu Sa'd, ia
berkata, Rasulullah mengunjungi rumah Fatimah dan tidak mendapatkan Ali di
dalamnya. Maka beliau bertanya, "Kemana anak pamanmu?" Dia (Fatimah)
nenjawab, "Antara aku dan dia ada sesuatu. Dia memarahiku, kemudian keluar
dan tidak tidur siang bersamaku." Maka Rasulullah pun bersabda kepada
seseorang, "Carilah ia!" Maka orang tersebut datang dan berkata,
"Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di masjid." 11 Maka Rasulullah
pun datang, sedangkan dia dalam keadaan berbaring. Selendangnya jatuh dari
pundaknya, dan dia terkena tanah. Maka mulailah Rasulullah mengusapi tanah
tersebut darinya dan berkata, "Bangunlah Abu Turab, bangunlah Abu
Turab." 32 3. Latihan ketangkasan di dalam masjid Hal ini sebagaimana
diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari 'Aisyah, ia berkata, Aku
melihat Rasulullah, suatu hari berdiri di pintu kamarku. Dan pada saat itu,
para budak sedang bermain di dalam masjid dan Rasulullah menghalangiku dengan
selendangnya. Aku melihat permainan mereka. 33 4. Pengobatan darurat bagi yang
sakit Pada perang Khandaq, Sa'ad ibnu Muadz terluka tangannya, maka Nabi
memasang tenda di masjid agar beliau dapat menjenguknya dari dekat. Dan tidak
ada yang membuat mereka (penghuni tenda Bani Ghifar) terkejut di dalam masjid
terdapat juga tenda Bani Ghifar ke uali darah yang mengalir ke arah mereka.
Mereka berkata, "Wahai penghuni tenda, apakah yang mengalir ke arah kami
dari arah kalian?" Ternyata luka Sa'ad mengalirkan darah sehingga ia pun
meninggal dalam tenda itu. Demikianlah beberapa hal yang dapat kami rangkum
berkaitan dengan adab-adab di dalam masjid. Semoga bermanfaat dan semoga Allah
memberikan tauk kepada kita untuk mengamalkannya. Amiin. 32Riwayat Bukhari.
33Dan di dalam riwayat lain, Aku melihat Nabi, sementara para budak dari Habsy
sedang bermain dengan tombak mereka. 12
22.Pasal ke-22(adab kitab al-quran)
ADAB TERHADAP AL-QUR’AN
Oleh
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari
Seorang Mukmin meyakini bahwa al-Qur’ân adalah kalâm (perkataan; ucapan) Allah Azza wa Jalla . Huruf dan maknanya bukanlah makhluk, serta diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad n . Al-Qur’ân adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ân adalah sebaik-baik dan sebenar-benar perkataan, tidak ada kedustaan padanya, baik pada saat diturunkan maupun sesudahnya. Barangsiapa berkata berdasarkan al-Qur’ân, maka perkataannya benar; dan barangsiapa menghukumi dengannya, maka hukumnya adil. Barangsiapa mengikutinya, ia akan menuntun menuju surga, dan barangsiapa membelakanginya, ia akan menyeretnya menuju neraka.
Oleh karena itu, seorang Muslim yang baik selalu beradab terhadap al-Qur’ân dengan adab-adab yang utama, di antaranya:
1. IMAN KEPADA AL-QUR’AN
Ini adalah adab dan kewajiban terbesar. Beriman kepada al-Qur’ân artinya meyakini segala beritanya, mentaati segala perintahnya, dan meninggalkan segala larangannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:136]
Ini adalah perintah Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang beriman untuk meluruskan iman mereka, yaitu dengan keikhlasan dan kejujuran iman, menjauhi perkara-perkara yang merusakkan iman, dan bertaubat dari perkara-perkara yang mengurangi nilai iman. Demikian juga agar mereka meningkatkan ilmu dan amalan keimanan. Karena, setiap nash yang tertuju kepada seorang Mukmin, lalu dia memahami dan meyakininya, maka itu termasuk iman yang wajib. Demikian juga seluruh amalan yang lahir dan batin termasuk iman, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash yang banyak dan disepakati oleh Salafush Shalih.
Di sini terdapat perintah untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, al-Qur’ân, dan kitab-kitab terdahulu. Beriman kepada hal-hal di atas hukumnya wajib dan seorang hamba tidak menjadi orang yang beriman kecuali dengannya, yaitu beriman secara menyeluruh dalam perkara yang perinciannya tidak sampai kepadanya, dan secara rinci dalam perkara yang perinciannya sudah sampai kepadanya. Maka barangsiapa beriman dengan keimanan ini, dia telah mengikuti petunjuk dan sukses.[1]
2. TILAWAH (QIRA’ATUL QUR’AN)
Sesungguhnya membaca al-Qur’ân merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits shahîh yang menunjukkan hal ini. Namun sayang, banyak umat Islam di zaman ini yang lalai dengan ibadah ini, baik karena sibuk dengan urusan dunia, karena lupa, atau lainnya. Ketika seseorang mendapatkan kiriman surat dari saudaranya, kawannya, keluarganya, atau kekasihnya, dia akan bersegera membukanya karena ingin mengetahui isinya. Namun, bagaimana bisa seorang Muslim tidak tergerak untuk membaca surat-surat al-Qur’ân yang datang dari penciptanya, padahal surat-surat al-Qur'ân itu semata-mata untuk kebaikannya?
Sebagian orang membaca al-Qur’ân, tetapi dengan tergesa-gesa atau dengan cara yang cepat, seolah-olah sedang diburu musuh! Padahal Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita agar membaca al-Qur’ân dengan tartîl (perlahan-lahan). Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Dan bacalah al-Qur`ân itu dengan perlahan-lahan. [al-Muzammil/73:4]
Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendorong umatnya untuk giat membaca al-Qur’ân dan menerangkan besarnya pahalanya. Maka, siapakah yang akan menyambutnya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.” [2]
Mungkin banyak di antara kita telah mengetahui pahala membaca al-Qur’ân ini. Namun, siapa di antara kita yang selalu berusaha mengamalkannya? Karena tujuan belajar, bukan hanya untuk pengetahuan saja, akan tetapi tujuannya yang tertinggi adalah untuk diamalkan.
Demikian juga dianjurkan untuk membaca al-Qur’ân dengan berjama’ah, yaitu satu orang membaca sedangkan yang lain mendengarkan, sebagaimana kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah ada sekelompok orang yang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan belajar bersama di antara mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya”. [3]
3. MEMPELAJARI DAN TADABBBUR (MEMPERHATIKAN)
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur’ân antara lain dengan hikmah agar manusia memperhatikan ayat-ayatnya, menyimpulkan ilmunya, dan merenungkan rahasianya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan bahwa seukuran fikiran dan akal seseorang, dia akan medapatkan pelajaran dan manfaat dengan kitab (al-Qur’ân) ini”.[4]
Bahkan Allah Azza wa Jalla menantang orang-orang kafir untuk mencari-cari kesalahan al-Qur’ân, jika mereka meragukan bahwa al-Qur’ân datang dari sisi Allah Azza wa Jalla !
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân? kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisâ’/4:82]
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik orang dari umat ini adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Dari Utsman, Nabi bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya”.[5]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Ini adalah sifat orang-orang Mukmin yang mengikuti para Rasul. Mereka adalah orang-orang yang sempurna pada diri mereka dan menyempurnakan orang lain. Dan itu menggabungkan kebaikan untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Ini kebalikan sifat orang-orang kafir yang banyak berbuat kezhaliman. Mereka tidak memberikan manfaat kepada orang lain dan tidak membiarkan orang lain mendapatkan manfaat. Mereka melarang manusia mengikuti al-Qur’ân dan mereka sendiri mendustakan dan menjauhinya.”[6]
4. ITTIBA’ (MENGIKUTI)
Setiap orang sangat membutuhkan rahmat Allah Azza wa Jalla . Namun, apa sarana untuk meraih rahmat-Nya? Mengikuti al-Qur’ân itulah cara mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:
وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan al-Qur`ân itu adalah kitab yang Kami turunkan, yang diberkati, maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. [al-An’âm/6:155]
Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kebaikan yang besar bagi orang yang mengikuti kitab-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Allah berfirman: "Jika datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thâha/20: 123]
Sebaliknya, Allah Azza wa Jalla juga memberi ancaman berat bagi orang yang berpaling dari kitab-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآيَاتِ رَبِّهِ ۚ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَىٰ
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat rabbnya. Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.[Thâha/20:124-127]
5. BERHUKUM DENGAN AL-QUR’AN
Sesungguhnya kewajiban pemimpin umat adalah menghukumi rakyat dengan hukum Allah Azza wa Jalla , yaitu berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah. Dan kewajiban rakyat adalah berhukum kepada hukum Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla mencela dengan keras orang-orang yang ingin berhakim kepada thâghût (hukum yang bertentangan dengan hukum Allah). Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintah mengingkari thâghût itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:60]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Qur'ân) kepada kamu dengan terperinci. Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Qur'ân itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. [al-An’âm/6:114]
Allah juga berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur'ân), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [al-An’âm/6:115]
Firman Allah ”yang benar”, yaitu di dalam berita-beritanya, ” dan adil”, yaitu di dalam hukum-hukumnya. Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? [al-Mâidah/5:50]
6. MEYAKINI AL-QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN
Allah Azza wa Jalla yang menurunkan kitab al-Qur’ân, memiliki sifat-sifat sempurna. Oleh karena itu, kitab suci-Nya juga sempurna, sehingga cukup di jadikan sebagai pedoman untuk meraih kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat. Demikian juga al-Qur’ân cukup sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad n sebagai utusan Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia dan jin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-kitab (al –Qur`ân) sedang ia (al-Qur'ân) dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Qur`ân) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [al-‘Ankabût/29: 51]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Tidakkah mencukupi bagi mereka sebuah ayat (tanda kebenaran) bahwa Kami telah menurunkan kepadamu (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) sebuah kitab yang agung, yang di dalamnya terdapat berita orang-orang sebelum mereka, berita orang-orang setelah mereka, dan hukum apa yang ada di antara mereka, padahal engkau adalah seorang laki-laki yang ummi (buta huruf), tidak dapat membaca dan menulis, juga tidak pernah bergaul dengan seorang pun dari ahli kitab, kemudian engkau datang kepada mereka dengan membawa berita-berita yang ada di dalam lembaran-lembaran suci zaman dahulu, dengan menjelaskan kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan padanya, dan dengan membawa kebenaran yang nyata, gamblang, dan terang?.” [7]
Karena wahyu Allah Azza wa Jalla sudah mencukupi sebagai pedoman, maka Allah Azza wa Jalla melarang manusia mengikuti pemimpin-pemimpin yang bertentangan dengan wahyu-Nya, Dia berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7:3]
Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dengan keras kepada Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu , ketika dia datang membawa naskah kitab Taurat dan membacanya di hadapan beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَ تَّبَعَنِيْ
Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya. Seandainya Musa muncul kepada kamu, lalu kamu mengikutinya, dan kamu meninggalkan aku, sungguh kamu tersesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa hidup dan mendapati kenabianku, dia pasti mengikuti aku. [HR. Ad-Dârimi, no. 435; semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi, dan Ibnu Abi ‘Ashim. Syaikh al-Albâni menghasankannya di dalam Irwâ`ul Ghalîl, no. 1589]
Inilah di antara adab-adab orang beriman terhadap kitab suci al-Qur'ân. Semoga Allah Azza wa Jalla selalu membimbing kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mampu mengamalkannya. Al-hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.
Oleh
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari
Seorang Mukmin meyakini bahwa al-Qur’ân adalah kalâm (perkataan; ucapan) Allah Azza wa Jalla . Huruf dan maknanya bukanlah makhluk, serta diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad n . Al-Qur’ân adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ân adalah sebaik-baik dan sebenar-benar perkataan, tidak ada kedustaan padanya, baik pada saat diturunkan maupun sesudahnya. Barangsiapa berkata berdasarkan al-Qur’ân, maka perkataannya benar; dan barangsiapa menghukumi dengannya, maka hukumnya adil. Barangsiapa mengikutinya, ia akan menuntun menuju surga, dan barangsiapa membelakanginya, ia akan menyeretnya menuju neraka.
Oleh karena itu, seorang Muslim yang baik selalu beradab terhadap al-Qur’ân dengan adab-adab yang utama, di antaranya:
1. IMAN KEPADA AL-QUR’AN
Ini adalah adab dan kewajiban terbesar. Beriman kepada al-Qur’ân artinya meyakini segala beritanya, mentaati segala perintahnya, dan meninggalkan segala larangannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:136]
Ini adalah perintah Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang beriman untuk meluruskan iman mereka, yaitu dengan keikhlasan dan kejujuran iman, menjauhi perkara-perkara yang merusakkan iman, dan bertaubat dari perkara-perkara yang mengurangi nilai iman. Demikian juga agar mereka meningkatkan ilmu dan amalan keimanan. Karena, setiap nash yang tertuju kepada seorang Mukmin, lalu dia memahami dan meyakininya, maka itu termasuk iman yang wajib. Demikian juga seluruh amalan yang lahir dan batin termasuk iman, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash yang banyak dan disepakati oleh Salafush Shalih.
Di sini terdapat perintah untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, al-Qur’ân, dan kitab-kitab terdahulu. Beriman kepada hal-hal di atas hukumnya wajib dan seorang hamba tidak menjadi orang yang beriman kecuali dengannya, yaitu beriman secara menyeluruh dalam perkara yang perinciannya tidak sampai kepadanya, dan secara rinci dalam perkara yang perinciannya sudah sampai kepadanya. Maka barangsiapa beriman dengan keimanan ini, dia telah mengikuti petunjuk dan sukses.[1]
2. TILAWAH (QIRA’ATUL QUR’AN)
Sesungguhnya membaca al-Qur’ân merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits shahîh yang menunjukkan hal ini. Namun sayang, banyak umat Islam di zaman ini yang lalai dengan ibadah ini, baik karena sibuk dengan urusan dunia, karena lupa, atau lainnya. Ketika seseorang mendapatkan kiriman surat dari saudaranya, kawannya, keluarganya, atau kekasihnya, dia akan bersegera membukanya karena ingin mengetahui isinya. Namun, bagaimana bisa seorang Muslim tidak tergerak untuk membaca surat-surat al-Qur’ân yang datang dari penciptanya, padahal surat-surat al-Qur'ân itu semata-mata untuk kebaikannya?
Sebagian orang membaca al-Qur’ân, tetapi dengan tergesa-gesa atau dengan cara yang cepat, seolah-olah sedang diburu musuh! Padahal Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita agar membaca al-Qur’ân dengan tartîl (perlahan-lahan). Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Dan bacalah al-Qur`ân itu dengan perlahan-lahan. [al-Muzammil/73:4]
Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendorong umatnya untuk giat membaca al-Qur’ân dan menerangkan besarnya pahalanya. Maka, siapakah yang akan menyambutnya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.” [2]
Mungkin banyak di antara kita telah mengetahui pahala membaca al-Qur’ân ini. Namun, siapa di antara kita yang selalu berusaha mengamalkannya? Karena tujuan belajar, bukan hanya untuk pengetahuan saja, akan tetapi tujuannya yang tertinggi adalah untuk diamalkan.
Demikian juga dianjurkan untuk membaca al-Qur’ân dengan berjama’ah, yaitu satu orang membaca sedangkan yang lain mendengarkan, sebagaimana kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah ada sekelompok orang yang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan belajar bersama di antara mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya”. [3]
3. MEMPELAJARI DAN TADABBBUR (MEMPERHATIKAN)
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur’ân antara lain dengan hikmah agar manusia memperhatikan ayat-ayatnya, menyimpulkan ilmunya, dan merenungkan rahasianya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan bahwa seukuran fikiran dan akal seseorang, dia akan medapatkan pelajaran dan manfaat dengan kitab (al-Qur’ân) ini”.[4]
Bahkan Allah Azza wa Jalla menantang orang-orang kafir untuk mencari-cari kesalahan al-Qur’ân, jika mereka meragukan bahwa al-Qur’ân datang dari sisi Allah Azza wa Jalla !
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân? kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisâ’/4:82]
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik orang dari umat ini adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Dari Utsman, Nabi bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya”.[5]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Ini adalah sifat orang-orang Mukmin yang mengikuti para Rasul. Mereka adalah orang-orang yang sempurna pada diri mereka dan menyempurnakan orang lain. Dan itu menggabungkan kebaikan untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Ini kebalikan sifat orang-orang kafir yang banyak berbuat kezhaliman. Mereka tidak memberikan manfaat kepada orang lain dan tidak membiarkan orang lain mendapatkan manfaat. Mereka melarang manusia mengikuti al-Qur’ân dan mereka sendiri mendustakan dan menjauhinya.”[6]
4. ITTIBA’ (MENGIKUTI)
Setiap orang sangat membutuhkan rahmat Allah Azza wa Jalla . Namun, apa sarana untuk meraih rahmat-Nya? Mengikuti al-Qur’ân itulah cara mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:
وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan al-Qur`ân itu adalah kitab yang Kami turunkan, yang diberkati, maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. [al-An’âm/6:155]
Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kebaikan yang besar bagi orang yang mengikuti kitab-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Allah berfirman: "Jika datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thâha/20: 123]
Sebaliknya, Allah Azza wa Jalla juga memberi ancaman berat bagi orang yang berpaling dari kitab-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآيَاتِ رَبِّهِ ۚ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَىٰ
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat rabbnya. Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.[Thâha/20:124-127]
5. BERHUKUM DENGAN AL-QUR’AN
Sesungguhnya kewajiban pemimpin umat adalah menghukumi rakyat dengan hukum Allah Azza wa Jalla , yaitu berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah. Dan kewajiban rakyat adalah berhukum kepada hukum Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla mencela dengan keras orang-orang yang ingin berhakim kepada thâghût (hukum yang bertentangan dengan hukum Allah). Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintah mengingkari thâghût itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:60]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Qur'ân) kepada kamu dengan terperinci. Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Qur'ân itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. [al-An’âm/6:114]
Allah juga berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur'ân), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [al-An’âm/6:115]
Firman Allah ”yang benar”, yaitu di dalam berita-beritanya, ” dan adil”, yaitu di dalam hukum-hukumnya. Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? [al-Mâidah/5:50]
6. MEYAKINI AL-QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN
Allah Azza wa Jalla yang menurunkan kitab al-Qur’ân, memiliki sifat-sifat sempurna. Oleh karena itu, kitab suci-Nya juga sempurna, sehingga cukup di jadikan sebagai pedoman untuk meraih kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat. Demikian juga al-Qur’ân cukup sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad n sebagai utusan Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia dan jin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-kitab (al –Qur`ân) sedang ia (al-Qur'ân) dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Qur`ân) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [al-‘Ankabût/29: 51]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Tidakkah mencukupi bagi mereka sebuah ayat (tanda kebenaran) bahwa Kami telah menurunkan kepadamu (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) sebuah kitab yang agung, yang di dalamnya terdapat berita orang-orang sebelum mereka, berita orang-orang setelah mereka, dan hukum apa yang ada di antara mereka, padahal engkau adalah seorang laki-laki yang ummi (buta huruf), tidak dapat membaca dan menulis, juga tidak pernah bergaul dengan seorang pun dari ahli kitab, kemudian engkau datang kepada mereka dengan membawa berita-berita yang ada di dalam lembaran-lembaran suci zaman dahulu, dengan menjelaskan kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan padanya, dan dengan membawa kebenaran yang nyata, gamblang, dan terang?.” [7]
Karena wahyu Allah Azza wa Jalla sudah mencukupi sebagai pedoman, maka Allah Azza wa Jalla melarang manusia mengikuti pemimpin-pemimpin yang bertentangan dengan wahyu-Nya, Dia berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7:3]
Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dengan keras kepada Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu , ketika dia datang membawa naskah kitab Taurat dan membacanya di hadapan beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَ تَّبَعَنِيْ
Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya. Seandainya Musa muncul kepada kamu, lalu kamu mengikutinya, dan kamu meninggalkan aku, sungguh kamu tersesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa hidup dan mendapati kenabianku, dia pasti mengikuti aku. [HR. Ad-Dârimi, no. 435; semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi, dan Ibnu Abi ‘Ashim. Syaikh al-Albâni menghasankannya di dalam Irwâ`ul Ghalîl, no. 1589]
Inilah di antara adab-adab orang beriman terhadap kitab suci al-Qur'ân. Semoga Allah Azza wa Jalla selalu membimbing kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mampu mengamalkannya. Al-hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.
23.Pasal ke-23(adab-adab tidur)
Adab Tidur.
Pada pengakhiran
pembelajaran, seharusnya pelajar dapat:
1. menyatakan adab-adab sebelum dan selepas tidur.
2. membaca doa sebelum dan selepas tidur.
3. menghafaz doa sebelum dan selepas tidur.
4. menyatakan fadilat mengamalkan adab sebelum dan selepas bangun dari ttidur.
5. menyebut akibat tidak beradab sebelum dan selepas bangun tidur.
Antara adab sebelum tidur adalah:
1. menggosok gigi sebelum tidur.
1. menyatakan adab-adab sebelum dan selepas tidur.
2. membaca doa sebelum dan selepas tidur.
3. menghafaz doa sebelum dan selepas tidur.
4. menyatakan fadilat mengamalkan adab sebelum dan selepas bangun dari ttidur.
5. menyebut akibat tidak beradab sebelum dan selepas bangun tidur.
Antara adab sebelum tidur adalah:
1. menggosok gigi sebelum tidur.
2. mengambil wuduk.
3. berpakaian bersih.
4. memohon maaf kepada
kedua ibu bapa.
5. membaca doa tidur.
Adab Selepas Bangun
dari Tidur:
1. membaca doa bangun
dari tudur, doanya seperti berikut:
maksudnya: segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami selepas
mematikan kami dan kepadaNya kami akan kembali.
2. mengemaskan bilik tidur.
3. mesti menggosok gigi.
4. mesti bersuci dan mandi.
5. mesti berpakaian bersih dan kemas.
2. mengemaskan bilik tidur.
3. mesti menggosok gigi.
4. mesti bersuci dan mandi.
5. mesti berpakaian bersih dan kemas.
Fadhilat Mengamalkan adab-adab sebelum dan selepas bangun dari tidur:
1. dapat mengamalkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad s.a.w
2. dapat menjaga kesihatan tubuh badan.
3. melatih diri supaya sentiasa berdisiplin.
4. tidak mengantuk dan letih ketika belajar.
5. minda sentiasa cergas dan cerdas.
6. kita akan di sayangi orang sekeliling.
Akibat Tidak beradab sebelum dan selepas bangun dari Tidur:
1. rasa mengantuk ketika belajar.
2. mudah mendapat penyakit.
3. hilang rasa disiplin diri.
4. di benci orang lain dan keluarga.
5. susah untuk mengingat pelajaran.
24.Pasal ke-24 (adaB BERDOA)
Adab
Adab Dalam Berdoa
- Doa adalah permohonan kepada Allah yang
disertai kerendahan hati untuk mendapatkan suatu kebaikan dan kemaslahatan yang
berada di sisi-Nya. Sedangkan sikap khusyu’ dan tadharru’dalam menghadapkan
diri kepada-Nya merupakan hakikat pernyataan seorang hamba yang sedang
mengharapkan tercapainya sesuatu yang dimohonkan. Itulah pengertian doa secara
syar’i yang sebenanya.
Adab
Adab Dalam Berdoa
Sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“...Ya
Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu dari kami...” [Al-Hasyr/59: 10]
Firman-Nya
yang lain:
قَالَ
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ
“Musa
berdo’a: ‘Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam
rahmat Engkau…’” [Al-A’raaf/7: 151]
Firman-Nya
yang lain:
رَبَّنَا
اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya
Rabb-ku, berikanlah ampun kepadaku dan kedua ayah ibuku dan sekalian
orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat).” [Ibrahim/14: 41]
1.
Memohon dengan Suara yang Lembut
Allah
Berfirman mengenai tata cara Nabi Zakarias as dalam berdo'a
إِذْ
نَادَىٰ رَبَّهُۥ نِدَآءً خَفِيًّا
"
yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut."
(QS:
Maryam Ayat: 3)
2.
Rendah Hati dalam Berdo'a
Allah
memerintahkan untuk rendah hati ketika berdo'a sebagaimana di sebutkan dalam
firmannya:
ٱدْعُوا۟
رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ
Berdoalah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(QS:
Al-A'raf Ayat: 55)
3.Singkat namun mengandung kebaikan
Rasulullah
mengajarkan agar kita berdoa dengan kalimat yang ringkas namun sarat makna.
sebagaimana di riwayat kan oleh Aisyah ia berkata:
"Rasulullah
menyenangi doa doa yang singkat namun mengandung kebaikan yang banyak, dan
meninggalkan selain itu" (HR . Abu Dawud)
4.
Doa yang baik untuk dirinya dan untuk orang lain
Rasulullah
melarang kita berdoa yang mengandung kebukurkan diri sendiri maupun orang lain.
jabir berkata, Rasulullah Bersabda :
"Janganlah
kalian mendoakan keburukan terhadap diri kalian, janganlah mendoakan keburukan
terhadap anak anak kalian, jangalah mendoakan keburukan terhadap harta harta
kalian, agar jangan sampai doa itu bertepatan dengan waktu ketika Allah sedang
memenuhi permohonan, sehingga doa buruk itu benar benar terkabul untuk
kalian" (HR Muslim)
5.
Yakin
Kita
wajib yakin ketika berdoa. maknanya kita tidak boleh berdoa dengan
mengaitkannya dengan kehenda k Allah. Diriwayatkan dari abu hurairah ia berkata
"Rasulullah Bersabda :
"Jika
salah seorang dari kalian berdoa maka jangalah ia mengucpkan ya Allah ampunilah
aku jika engkau menghendaki, berilah rezeki kepadaku jika engkau menghendaki,
namun hendaknya ia yakin dalam meminta karena tidak ada yang bisa
memaksa-Nya"
makna
dari 'liya'zimal mas'alata' ialah hendaknya ia yakin dalam meminta dan yakin
akan di kabulkan .
25.pasal ke-25(do`a hafidz)
Inilah
Keistimewaan Penghafal Alquran
Alquran adalah kitabullah yang diturunkan lafal dan maknanya kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran adalah kitab suci yang kekal abadi dan terpelihara serta dijaga oleh Allah SWT sampai akhir zaman.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hijr ayat 9, "Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami yang benar-benar memeliharanya." Rasulullah SAW memelihara Alquran dengan menghafalkan setiap ayat yang diwahyukan kepadanya.
Bahkan, Allah SWT telah menjamin terpeliharanya hafalan Nabi SAW terhadap ayat-ayat Alquran. "Janganlah kamu menggerakan lidahmu untuk (membaca] Alquran karena hendak cepat-cepat menguasainya, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (QS Al-Qiyamah 16-17]
Rasulullah SAW sangat mendorong sahabat dan umatnya untuk menghafal ayat-ayat suci Alquran. Orang-orang yang menghafal Alquran mendapat posisi yang istimewa di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW. Mereka yang menjaga Alquran lewat hafalan akan mendapat posisi yang terhormat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Nabi Muhammad SAW mengibaratkan orang yang tak memiliki hafalan Alquran sebagai gubuk kumuh yang nyaris roboh. "Orang yang tidak mempunyai hafalan Alquran sedikit pun adalah seperti rumah kumuh yang mau runtuh." (HR Tirmidzi). Lantas apa saja keistimewaan yang akan diraih seorang hamba yang menghafal Alquran?
Alquran merupakan pedoman hidup bagi orang yang ingin bahagia di dunia dan akhirat. Menurut dia, Rasulullah SAW mendorongan umatnya untuk mencintai Alquran. Amr bin Salmah, seorang sahabat Nabi SAW, karena kemampuannya menghafal Alquran, pada usia tujuh tahun telah mendapat posisi yang istimewa di kalangan masyarakatnya. Atas kepandaiannya menghafal Alquran, ia selalu ditunjuk menjadi imam shalat jamaah atau shalat jenazah.
Hal itu sesuai dengan hadis Nabi SAW, "Orang yang paling banyak menghafal ayat-ayat Alquran lebih utama untuk menjadi imam." Demikian pula dengan Ibnu Abbas. Pada usia 10 tahun, ia telah hafal 30 juz. (Bukhari - Fathul Bari). Ia pun kemudian menjadi ulama besar dalam tafsir karena ingatan yang sangat terjaga pada masa kanak-kanak.
"Ahli tafsir terbaik adalah Ibnu Abbas," ujar Abdullah bin Masud.
Bahkan mereka yang mampu menghafal Alquran dalam sebuah hadis disebutkan akan merasakan nikmat kenabian, bedanya ia tidak mendapatkan wahyu. "Barangsiapa yang membaca (hafal) Alquran, maka sungguh dirinya telah menaiki derajat kenabian, hanya saja tidak diwahyukan kepadanya." (HR Hakim)
Selain itu, Alquran juga menjanjikan kebaikan, berkah, dan kenikmatan bagi penghafalnya. Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bersabda,
"Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya."
Mereka yang hafiz Alquran pun akan mendapatkan penghargaan khusus dari Rasulullah SAW. Hal itu pernah terjadi ketika proses pemakaman para syuhada yang gugur di Perang Uhud. "Adalah nabi mengumpulkan di antara dua orang syuhada Uhud kemudian beliau bersabda, "Manakah di antara keduanya yang lebih banyak hafal Alquran, ketika ditunjuk kepada salah satunya, maka beliau mendahulukan pemakamannya di liang lahat." (HR Bukhari)
Nabi SAW pun lebih mempercayai orang yang memiliki hafalan Alquran paling banyak sebagai pemimpin. Dari Abu Hurairah ia berkata, "Telah mengutus Rasulullah SAW sebuah delegasi yang banyak jumlahnya, kemudian Rasul mengetes hafalan mereka, kemudian satu per satu disuruh membaca apa yang sudah dihafal, maka sampailah pada Shahabi yang paling muda usianya, beliau bertanya, "Surah apa yang kau hafal?
"Aku hafal surah ini.. surah ini.. dan surat Al Baqarah."
"Benarkah kamu hafal surat Al Baqarah?" Tanya Nabi lagi.
‘’Benar,’’ jawab Shahabi
Nabi bersabda, "Berangkatlah kamu dan kamulah pemimpin delegasi." (HR At-Turmudzi dan An-Nasai). Selain itu, orang-orang yang hafal Alquran adalah mereka yang diberi ilmu. Tak heran, jika anak-anak yang hafiz Alquran mampu menoreh prestasi yang cemerlang di sekolahnya.
Bahkan, ada pula hadis yang menempatkan para hafiz di posisi yang amat mulia. "Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, "Siapakah mereka ya Rasulullah?" Rasul menjawab, "Para ahli Alquran. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya." (HR Ahmad).
Selain mendapat jaminan kemuliaan di dunia, diakhirat kelak nanti para penghafal Alquran akan memiliki derajat yang lebih tinggi. Jaminannya adalah surga. Sungguh, luar biasa. Umat Muslim pun diajarkan untuk menghormati para penghafal Alquran.
Alquran adalah kitabullah yang diturunkan lafal dan maknanya kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran adalah kitab suci yang kekal abadi dan terpelihara serta dijaga oleh Allah SWT sampai akhir zaman.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hijr ayat 9, "Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami yang benar-benar memeliharanya." Rasulullah SAW memelihara Alquran dengan menghafalkan setiap ayat yang diwahyukan kepadanya.
Bahkan, Allah SWT telah menjamin terpeliharanya hafalan Nabi SAW terhadap ayat-ayat Alquran. "Janganlah kamu menggerakan lidahmu untuk (membaca] Alquran karena hendak cepat-cepat menguasainya, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (QS Al-Qiyamah 16-17]
Rasulullah SAW sangat mendorong sahabat dan umatnya untuk menghafal ayat-ayat suci Alquran. Orang-orang yang menghafal Alquran mendapat posisi yang istimewa di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW. Mereka yang menjaga Alquran lewat hafalan akan mendapat posisi yang terhormat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Nabi Muhammad SAW mengibaratkan orang yang tak memiliki hafalan Alquran sebagai gubuk kumuh yang nyaris roboh. "Orang yang tidak mempunyai hafalan Alquran sedikit pun adalah seperti rumah kumuh yang mau runtuh." (HR Tirmidzi). Lantas apa saja keistimewaan yang akan diraih seorang hamba yang menghafal Alquran?
Alquran merupakan pedoman hidup bagi orang yang ingin bahagia di dunia dan akhirat. Menurut dia, Rasulullah SAW mendorongan umatnya untuk mencintai Alquran. Amr bin Salmah, seorang sahabat Nabi SAW, karena kemampuannya menghafal Alquran, pada usia tujuh tahun telah mendapat posisi yang istimewa di kalangan masyarakatnya. Atas kepandaiannya menghafal Alquran, ia selalu ditunjuk menjadi imam shalat jamaah atau shalat jenazah.
Hal itu sesuai dengan hadis Nabi SAW, "Orang yang paling banyak menghafal ayat-ayat Alquran lebih utama untuk menjadi imam." Demikian pula dengan Ibnu Abbas. Pada usia 10 tahun, ia telah hafal 30 juz. (Bukhari - Fathul Bari). Ia pun kemudian menjadi ulama besar dalam tafsir karena ingatan yang sangat terjaga pada masa kanak-kanak.
"Ahli tafsir terbaik adalah Ibnu Abbas," ujar Abdullah bin Masud.
Bahkan mereka yang mampu menghafal Alquran dalam sebuah hadis disebutkan akan merasakan nikmat kenabian, bedanya ia tidak mendapatkan wahyu. "Barangsiapa yang membaca (hafal) Alquran, maka sungguh dirinya telah menaiki derajat kenabian, hanya saja tidak diwahyukan kepadanya." (HR Hakim)
Selain itu, Alquran juga menjanjikan kebaikan, berkah, dan kenikmatan bagi penghafalnya. Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bersabda,
"Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya."
Mereka yang hafiz Alquran pun akan mendapatkan penghargaan khusus dari Rasulullah SAW. Hal itu pernah terjadi ketika proses pemakaman para syuhada yang gugur di Perang Uhud. "Adalah nabi mengumpulkan di antara dua orang syuhada Uhud kemudian beliau bersabda, "Manakah di antara keduanya yang lebih banyak hafal Alquran, ketika ditunjuk kepada salah satunya, maka beliau mendahulukan pemakamannya di liang lahat." (HR Bukhari)
Nabi SAW pun lebih mempercayai orang yang memiliki hafalan Alquran paling banyak sebagai pemimpin. Dari Abu Hurairah ia berkata, "Telah mengutus Rasulullah SAW sebuah delegasi yang banyak jumlahnya, kemudian Rasul mengetes hafalan mereka, kemudian satu per satu disuruh membaca apa yang sudah dihafal, maka sampailah pada Shahabi yang paling muda usianya, beliau bertanya, "Surah apa yang kau hafal?
"Aku hafal surah ini.. surah ini.. dan surat Al Baqarah."
"Benarkah kamu hafal surat Al Baqarah?" Tanya Nabi lagi.
‘’Benar,’’ jawab Shahabi
Nabi bersabda, "Berangkatlah kamu dan kamulah pemimpin delegasi." (HR At-Turmudzi dan An-Nasai). Selain itu, orang-orang yang hafal Alquran adalah mereka yang diberi ilmu. Tak heran, jika anak-anak yang hafiz Alquran mampu menoreh prestasi yang cemerlang di sekolahnya.
Bahkan, ada pula hadis yang menempatkan para hafiz di posisi yang amat mulia. "Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, "Siapakah mereka ya Rasulullah?" Rasul menjawab, "Para ahli Alquran. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya." (HR Ahmad).
Selain mendapat jaminan kemuliaan di dunia, diakhirat kelak nanti para penghafal Alquran akan memiliki derajat yang lebih tinggi. Jaminannya adalah surga. Sungguh, luar biasa. Umat Muslim pun diajarkan untuk menghormati para penghafal Alquran.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan
manusia karena akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi’at,
perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan
Khaliq atau dengan sesama makhluk. Akhlak ini merupakan hal yang paling penting
dalam pembentukan akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia yang paling
baik budi pekertinya adalah Rasulullah S.A.W.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat
yang mulia menyatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia
yang paling baik budi pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).
B.
Saran
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penyusun dan bagi pembaca semuanya. Serta diharapkan, dengan
diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun dapat menerapkan
akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun tidak sesempurna Nabi Muhammad S.A.W , setidaknya kita termasuk
kedalam golongan kaumnya.